Minggu, 16 Oktober 2011

Reshuffle Kabinet, Now or Never!

Di saat Kabinet SBY-Boediono yang terbentuk pada 22 Oktober 2009 berusia 100 hari dan satu tahun, isu pergantian (reshuffle) kabinet sangat santer terdengar, tapi reshuffle tidak pernah terwujud.

Menjelang dua tahun usia Kabinet SBY-Boediono, isu itu muncul kembali. Kali ini momentumnya sangat tepat, bukan karena adanya isu korupsi di beberapa kementerian, bukan pula karena isu “selingkuh” atau urusan pribadi beberapa menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, melainkan karena Presiden SBY menginginkan agar dalam tiga tahun mendatang kabinet memiliki kinerja yang lebih baik dan lebih banyak lagi yang bisa dilakukan.

Dengan kata lain, Presiden SBY ingin agar sebelum kabinet tepat berusia dua tahun, sudah ada kabinet baru yang siap bekerja lebih baik, efektif dan efisien.

Dari kalangan politisi, ada pro dan kontra mengenai reshuffle kabinet ini. Mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tanjung misalnya, menilai inilah momentum yang sangat tepat mengganti kabinet. Tapi, seperti diungkapkan Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto, hingga kini Presiden SBY belum melakukan konsultasi politik dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) termasuk yang kontra dengan reshuffle kabinet ini. Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring, misalnya, menilai kinerja kabinet sudah baik, devisa negara meningkat, pertumbuhan ekonomi juga mencapai 6,4% tahun lalu.

Sekjen PKS Anis Matta malah agak sinis mengenai reshuffle yang targetnya katanya hanyalah Fund Rising (mencari uang) untuk pemilu 2014 karena yang direshuffle adalah menteri dari kementerian yang basah.

Hingga kini baru Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sudah diajak bicara oleh Presiden SBY, sementara dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ada pernyataan bahwa posisi Ketua Umum PKB yang juga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar aman, walau skandal korupsi di kementeriannya sudah amat santer terdengar dan diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lepas dari pro dan kontra tersebut, Presiden SBY memiliki hak prerogatif mengganti kabinetnya. Presiden tentunya juga sudah memiliki data dan informasi yang amat sangat akurat mengenai kinerja para menterinya selama dua tahun terakhir ini, baik yang dipasok oleh Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Percepatan Pembangunan (UKP4), masukan-masukan informasi dari media massa, maupun dari hasil sidang-sidang kabinet sendiri yang dipimpinnya.

Dalam beberapa kali Sidang Kabinet Paripurna atau Terbatas kita sering mendengar bagaimana Presiden menyatakan adanya perintah-perintahnya yang tidak dilakukan oleh separuh (50%) dari anggota kabinetnya. Bahkan tidak jarang Presiden SBY memberikan penilaian langsung kepada satu atau dua menteri yang kinerjanya kurang baik.

Sesuai fatsun politik yang berlaku, Presiden memang patut berkonsultasi dengan para pemimpin partai yang berada di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Namun, lagi-lagi presiden memiliki otoritas untuk menentukan siapa saja menteri yang perlu dipertahankan atau diganti.

Sebagai pemimpin politik, presiden harus memiliki keberanian politik untuk mengganti mereka yang tidak profesional di kabinetnya, apakah ia menteri yang berasal dari partai politik atau bukan. Ia harus berani mengambil risiko demi mengejar kesempatan yang baik bagi Indonesia tiga tahun mendatang.

Reshuffle bukanlah sekadar perbaikan citra ataupun demi mengejar uang untuk 2014, melainkan bagaimana meningkatkan dan mengefektifkan kerja kabinetnya. Para menteri yang diduga tersangkut korupsi harus dicopot sementara sampai kasus hukum yang ada di kementeriannya tuntas.

Mereka yang kinerjanya tidak baik dalam persoalan keamanan energi, peningkatan sarana dan prasarana jalan, pelabuhan, bandar udara, persoalan perumahan rakyat, pertanian, ekonomi dan perbankan, usaha kecil dan menengah, sampai ke soal ketenagakerjaan tentunya harus diganti. Persoalan penegakan hukum kasus-kasus korupsi dan penghormatan kepada HAM juga menjadi sorotan masyarakat, karena itu jika kinerja menterinya kurang baik harus pula diganti.

Presiden SBY harus meninggalkan warisan politik dan ekonomi yang baik bagi negeri ini untuk melangkah ke masa depan. Tantangan pada 2014 agar tercipta konsolidasi politik di tingkat nasional sudah di depan mata. Negara atau state harus benar-benar dirasakan otoritasnya di mata rakyat.

Tantangan 2015 dan 2020 terkait dengan globalisasi ekonomi harus dihadapi Indonesia. Kini pun kita sudah merasakan betapa krisis ekonomi dunia yang disebabkan oleh soal utang negara-negara Eropa dan defisit anggaran belanja AS yang makin meningkat, sudah terjadi tahun ini tanpa harus menunggu sampai 2013.

Jika hasil reshuffle nantinya lebih untuk peningkatan citra politik presiden dan bukan demi perbaikan kinerja kabinet, tingkat kepuasan dan kepercayaan publik kepada kabinet dan presiden akan semakin merosot!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar