Minggu, 16 Oktober 2011

Pro Kontra Reshuffle Kabinet

Jakarta, Seruu.com - Terkait dengan evaluasi kinerja menteri dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ramai diperbincangkan sejak 1 tahun pemerintahan SBY-Boediono pro dan kontra bermunculan di tengah politikus, pengamat maupun masyarakat. Isu reshuffle kabinet semakin menguat pasca perbedaan pendapat Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi di DPR. Sejumlah anggota koalisi seperti PKS dan Golkar menganggap setgab koalisi tidak dibangun untuk menyeragamkan pendapat

Anas Urbaningrum dalam pernyataannya pagi ini menyatakan bahwa reshuffle kabinet akan menguatkan koalisi pemerintah di Sekretariat Gabungan. Meski ia juga mengakui bahwa reshuffle atau tidak itu murni hak presiden.

"Itu kewenangan Presiden. Yang saya tahu visi Presiden adalah penguatan koalisi dan peningkatan kinerja kabinetnya." papar Anas di Jakarta, Rabu (01/12).

Dukungan juga diungkapkan oleh Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Akbar Tanjung. Akbar menyetujui keputusan SBY untuk mengganti menteri dari partai Golkar.

"Mengenai siapa yang diganti, itu prerogatif presiden. Apakah kemudian ada partai yang berkurang atau bertambah, sepenuhnya juga presiden yang memutuskan. Kabinet kan sudah berjalan satu tahun, saya kira wajar kalau presiden melakukan evaluasi terhadap kinerja para pembantu-pembantunya," kata Akbar di Jakarta, Selasa (30/11/2010).

Mantan ketua DPR itu mengatakan, Presiden sudah sewajarnya melakukan evaluasinya terhadap kinerja pembantunya. Presiden berhak melakukan pergantian jika kinerja pembantunya jauh dari harapannya.

"Pergantian-pergantian terhadap menteri-menteri yang menurut ukuran presiden atau menurut keinginan presiden tidak sejalan dengan apa yang diharapkan, presiden berhak melakukan pergantian," tambahnya.

Sementara ditempat terpisah pengamat politik dari Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Dr Ibnu Tricahyo menyatakan, presiden harus mulai menentukan kriteria bagai para calon menteri yang akan membantu kinerjanya di pemerintahan.

"Penetapan kriteria itu semata-mata hanya untuk membatasi agar menteri yang dipilih nanti karena kapasitasnya, bukan karena sebagai mitra koalisi partai pemenang Pemilu seperti yang terjadi sekarang ini," tegas Ibnu ketika diminta tanggapannya terkait adanya rencana "reshuffle" kabinet di Malang, Rabu (01/12).

Hanya saja, tegasnya, perombakan kabinet yang sering dilakukan oleh presiden termasuk presiden periode sebelumnya akan menjadikan trauma terhadap sistem ketatanegaraan, apalagi kalau melihat kekuatan politik (koalisi) sekarang ini.

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) Malang itu berpendapat, mau tidak mau presiden harus berkoalisi dengan partai politik (parpol) lain, namun jangan seperti yang terjadi sekarang ini. Banyak menteri yang sama sekali tidak punya kapasitas dan bukan dari kalangan profesional.

"Boleh saja parpol koalisi mengusulkan calonnya, namun harus yang berintegritas, punya kapasitas dan keahlian di bidang yang bakal digelutinya. Bukan asal mengusulkan dan rata-rata juga kader parpol, kondisi ini kan tidak baik bagi negara," tegasnya.

Berbeda dengan Ibnu, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Dr Mas'ud Said justru menyarankan agar presiden tidak melakukan perombakan kabinet, sebab perombakan kabinet saat ini bukan merupakan jalan terbaik untuk membenahi kinerja para menteri.

"Yang terjadi nanti justru rebutan jabatan dan hanya akan menjadi 'jembatan' para politikus semata, bukan profesionalitas yang di kedepankan," tegas mantan Dekan FISIP UMM tersebut.

Apalagi, lanjutnya, bisa dipastikan orang-orang yang diusulkan dan diajukan ke presiden untuk mengisi jabatan menteri adalah orang-orang politik, bukan profesional.

"Oleh karena itu menurut saya, 'reshuffle' kabinet tidak perlu dilakukan, kinerja para menteri yang selama ini masih mendapat rapor merah saja yang diperbaiki dan dioptimalkan. Memang idealnya seorang menteri itu dari kalangan profesional," tegas Mas'ud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar