Rabu, 11 Juni 2014

MASALAH-MASALAH PERKOTAAN

MASALAH-MASALAH PERKOTAAN

PENDAHULUAN
Dewasa ini, kita sering mendengar berbagai masalah mengenai ibukota negara Indonesia, jakarta. Pertumbuhan populasi manusia di kota talah memunculkan berbagai masalah, seperti pencemaran atau polusi, banjir, sampah, air bersih, transportasi, perumahan atau tempat tinggal, dan kebakaran, yang kesemuanya dapat berdampak pada kesehatan, baik kesehatan manusia maupun kesehatan lingkungan. Pemerintah pun juga sudah berupaya untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut seperti pembangunan banjir kanal, penggunaan teknologi pengolahan sampah, teknologi informasi untuk mitigasi bencana, penggunaan teknologi untuk mengurangi dampak polusi, dan lain sebagainya.
Seiring dengan pertumbuhan pembangungan kota Metropolitab, muncul gagasan untuk mengembangkan wilayah dari metropolitan ke megapolitan. Konsep megapolitan tersebut, memerlukan telaah dan persiapan lintas disiplin ilmu dan telaah mendalam dari berbagai sudut pandang, agar gagasan tersebut membawa dampak pada kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup. Gagasan tersebut merupakan salah satu upaya perencanaan konsep keberlanjutan masa depan.
PEMBAHASAN
1.      BANJIR
Penyebab banjir di DKI Jakarta, secara umum terjadi karena dua faktor utama yakni faktor alam dan faktor manusia. Penyebab banjir dari faktor alam antara lain karena lebih dari 40% kawasan di DKI Jakarta berada di bawah muka air laut pasang.  Sehingga Jakarta Utara akan menjadi sangat rentan terhadap banjir saat ini. Berbagai faktor penyebab memburuknya kondisi banjir Jakarta saat itu ialah pertumbuhan permukiman yang tak terkendali disepanjang bantaran sungai, sedimentasi berat serta tidak berfungsinya kanal-kanal dan sistem drainase yang memadai. Kondisi ini diperparah oleh kecilnya kapasitas tampung sungai saat ini dibanding limpasan (debit) air yang masuk ke Jakarta.  Kapasitas sungai dan saluran makro ini disebabkan karena konversi badan air untuk perumahan, sedimentasi dan pembuangan sampah secara sembarangan

2.      ARUS URBANISASI YANG CEPAT
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 1995, tingkat urbanisasi di Indonesia padatahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal didaerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yanglalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995.Meningkatnya kepadatan penduduk perkotaan membawa dampak yang sangat besar kepadatingkat kenyamanan yang tinggi. Kota seperti Jakarta misalnya tidak dirancang untuk melayanimobilitas penduduk lebih dari 10 juta orang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta penduduk saat ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang melaju dari berbagai kota sekitar Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlah sesak.

3.      ARUS URBANISASI YANG CEPAT
Urbanisasi menurut Prijono Tjiptoherijanto berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan mereka yang awam dengan ilmu kependudukan seringkali mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota (Prijono, Urbanisasi, Kompas, Senin 8 Mei 2000).
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 1995, tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995.
Meningkatnya kepadatan penduduk perkotaan membawa dampak yang sangat besar kepada tingkat kenyamanan yang tinggi. Kota seperti Jakarta misalnya tidak dirancang untuk melayani mobilitas penduduk lebih dari 10 juta orang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta penduduk saat ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang melaju dari berbagai kota sekitar Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlah sesak.
Kedekatan jangkauan terhadap pusat-pusat perekonomian di perkotaan, menjadikan daya tarik lain sehingga sebagian penduduk lebih memilih tinggal di kota, meski mereka terpaksa tinggal di ruang yang sangat terbatas. Akibatnya, area-area kumuh, dengan fasilitas kehidupan dan kebutuhan umum yang terbatas, menjadi semakin meluas.

4.      KRIMINALITAS
Kejahatan atau kriminalitas di kota-kota besar sudah menjadi permasalahan sosial yang membuat semua warga yang tinggal atau menetap menjadi resah, karena tingkat kriminalitas yang terus meningkat setiap tahunnya.faktor penyebab Tingkat pengangguran yang tinggi , Kurangnya lapangan pekerjaan membuat tingkat kriminal juga meningkat karena kurangnya lapangan pekerjaan danKemiskinan yang dialami oleh rakyat kecil kadang membuat mereka berfikir untuk melakukan tindakan kriminalitas.
Contoh tindak kejahatan adalah pencurian, perampokan, penjambretan, pencopetan, pemalakan, korupsi, pembunuhan, dan penculikan. Banyaknya tindak kejahatan menciptakan rasa tidak aman. Perampokan dan penodongan menggunakan senjata api sering terjadi di kota besar. Di desa pun sering terjadi pencurian. Misalnya, ada yang mencuri ternak, hasil pertanian, hasil hutan, dan sebagainya.
Tindak kejahatan pencurian dan perampokan sering disebakan oleh masalah kemiskinan dan pengangguran. Karena itu, pemerintah dan masyarakat harus berusaha keras untuk menciptakan lapangan kerja. Selain itu, kualitas dan pemerataan pendidikan harus ditingkat-kan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian warga. Sementara itu, aparat keamanan, terutama polisi harus mampu memberantas tindak kejahatan. Masyarakat diharapkan membantu polisi.

5.      MENINGKATNYA SEKTOR INFORMAL
Kesenjangan antara kemampuan menyediakan sarana penghidupan dengan permintaan terhadap lapangan kerja, memacu tumbuhnya sektor informal perkotaan.
Pada saat krisis ekonomi terjadi jumlah penduduk perkotaan yang bekerja di sektor informal ini semakin besar. Di satu sisi tumbuhnya sektor informal ini merupakan katup pengaman bagi krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Bangsa Indonesia. Namun, pada gilirannya peningkatan aktivitas sektor informal, terutama yang berada di perkotaan dan menyita sebagian ruang publik perkotaan, menimbulkan masalah baru terutama menyangkut aspek kenyamanan dan ketertiban yang juga menjadi hak publik bagi warga perkotaan yang lain.

6.      DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR PENDUDUK PERKOTAAN (KESENJANGAN SOSIAL)
Perbedaan tingkat kemampuan, pendidikan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi menjadikan persoalan perbedaan pendapatan antarpenduduk di perkotaan semakin besar.
Di satu pihak, sebagian kecil dari penduduk perkotaan menguasai sebagian besar sumber perekonomian. Sementara di sisi lain, sebagian besar penduduk justru hanya mendapatkan sebagian kecil sumber perekonomian. Akibatnya, terdapat kesenjangan pendapatan yang semakin lama semakin besar.
Sebagai bagian dari mekanisme pasar, kondisi ini sebenarnya sah-sah saja dan sangat wajar terjadi. Persoalannya, ternyata dan praktiknya disparitas pendapatan ini menimbulkan persoalan sosial yang tidak ringan. Terjadinya kecemburuan sosial yang bermuara pada kerusuhan massal, kerap terjadi karena persoalan ini. Dalam skala yang lebih kecil, meningkatnya kriminalitas di perkotaan, merupakan implikasi tidak meratanya kemampuan dan kesempatan untuk menikmati pertumbuhan perekonomian di perkotaan.

7.      MENINGKATNYA KEMACETAN
Pertumbuhan jumlah kendaraan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan penduduk, membawa implikasi lain bagi perkotaan. Masalah kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan oleh para pengambil kebijakan perkotaan.
Terbatasnya wilayah untuk memperluas jaringan jalan, merupakan kendala terbesar sehingga penambahan ruas jalan yang dilakukan pemerintah tak dapat mengimbangi laju pertambahan penduduk. Akibatnya persoalan kemacetan lalu lintas ini semakin lama semakin menjadi.
Persoalannya semakin pelik, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan sarana transportasi umum dan massal yang memadai, sehingga masyarakat lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi dan akhirnya menjadikan masalah kemacetan ini makin menjadi.
Di lain pihak pembangunan kota-kota satelit di sekitar Jakarta, tak mampu memecahkan masalah ini, karena para penduduk kota satelit ini justru masih mencari penghidupan di Jakarta. Akibatnya pembangunan kota-kota ini justru hanya memperluas sebaran daerah-daerah pusat kemacetan lalu lintas.

8.      KEBAKARAN
Masalah sosial lainnya yang juga sering dihadapi warga masyarakat di lingkunganmu adalah kebakaran. Siapa yang pernah melihat kebakaran? Kebakaran apa yang kamu saksikan itu? Apakah rumah atau hutan dan semak belukar? Apa yang terjadi ketika kebakaran? Api melahap segala sesuatu dengan cepat, bukan? Kebakaran yang terjadi di masyarakat umumnya merupakan kebakaran pemukiman. Sebuah rumah terbakar dan menjalar ke rumah-rumah di sekitarnya. Penyebabnya antara lain kompor meledak dan sambungan arus pendek (korsleting) listrik. Karena itu, masyarakat harus sangat hatihati dengan dua hal ini. Kebakaran pemukiman kumuh dan padat penduduk umumnya merusak sebagian bahkan seluruh rumah yang ada di sana. Ini disebabkan karena bahan-bahan yang dipakai untuk membangun rumah memang mudah terbakar. Selain itu, jalan masuknya sempit sehingga sulit dijangkau oleh mobil pemadam kebakaran.
Kebakaran pemukiman sangat menyusahkan warga. Kita harus berusaha mencegah terjadinya kebakaran di lingkungan kita. Caranya antara lain sebagai berikut.
1.      Merawat kompor supaya layak pakai dan tidak bermasalah.
2.      Merawat jaringan listrik. Kabel yang mulai mengelupas diganti.
3.      Mematikan kompor setelah memasak.
4.      Berhati-hati menggunakan lilin dan korek api.
Kebakaran hutan sering terjadi pada musim kemarau. Asap kebakaran hutan banyak sekali. Asap kebakaran hutan mengganggu kesehatan dan lalu lintas. Selain itu, kawasan hutan akan semakin berkurang. Kalau terjadi kebakaran, segera menghubungi Dinas Pemadam Kebakaran terdekat. Warga juga harus saling membantu memadamkan api. Dan yang juga penting adalah mencegah terjadinya kekacauan atau aksi pencurian yang biasanya ikut terjadi pada saat terjadi kebakaran.

9.      PENCEMARAN LINGKUNGAN
Kamu sudah pernah belajar masalah pencemaran di Kelas 3. Apakah kamu masih ingat macam-macam pencemaran? Ada pencemaran air dan pencemaran udara. Apa yang menyebabkan pencemaran air seperti sungai, danau, waduk, dan laut? Perairan bisa tercemar karena ulah manusia, misalnya membuang sampah ke sungai dan menangkap ikan dengan menggunakan pestisida. Sungai, danau, atau waduk juga menjadi tercemar kalau pabrik-pabrik membuang limbah industri ke sana. Pencemaran mengakibatkan matinya ikan dan makhluk lainnya yang hidup di air. Akhirnya, manusia juga menderita kerugian.  
Pencemaran udara disebabkan asap kendaraan bermotor dan asap pabrik-pabrik. Kamu yang tinggal di kota pasti menghadapi masalah ini setiap hari. Kalau kamu habis jalan-jalan, coba usaplah wajahmu dengan kapasbersih. Apa yang kamu lihat pada kapas itu? Kapas itu akan menjadi hitam karena kotoran yang ada di wajahmu. Kotoran itu berasal dari debu dan asap kendaraan bermotor. Udara yang kita hirup adalah udara yang sangat kotor. Bayangkan apa yang terjadi dengan paru-paru kita, kalau kita menghirup udara yang sangat kotor seperti itu. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi pencemaran udara. Misalnya, membuat taman kota dan menanam pohon sebanyak-banyaknya. Kita sebagai warga negara sebaiknya ikut serta dalam program ini. Selain itu, kalau kita memiliki kendaraan bermotor, usahakan supaya kendaraan tersebut layak dipakai. Jangan sampai kendaraan milik kita mengeluarkan banyak asap. Kalau bepergian ke mana-mana, sebaiknya menggunakan kendaraan umum. Jumlah kendaraan di jalan jadi berkurang.

10.  JUMLAH ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) YANG MAKIN BANYAK.
Penyandang masalah sosial seperti gelandangan dan pengemis (gepeng) dan pedagang asongan merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dihindarkan keberadaannya dari kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan. Selama ini, kebijakan yang sering diterapkan dalam menangani anak jalanan adalah dengan mendirikan rumah singgah. Rumah singgah adalah konsep pembinaan anak jalanan dengan cara melokalisir keberadaan mereka sehingga tidak hidup secara liar dan meresahkan masyarakat sekitar. Namun keberadaan rumah singgah sering tidak menyelesaikan persoalan. Banyak anak jalanan yang bosan dengan program rumah singgah yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Mereka lebih merasa bebas dan nyaman dengan tetap hidup dengan cara mereka sendiri.
Keterbatasan sumber daya aparatur pemerintah dan banyaknya masyarakat yang masih bersimpati dengan cara memberikan sumbangan di persimpangan jalan dan di tempat-tempat umum lainnya juga jadi kendala, serta adanya kenyataannya bahwa penghasilan gelandangan, pengemis dan pedagang asongan dengan meminta sedekah dan berjualan di jalanan lebih banyak daripada memiliki usaha sendiri yang permanen. Gelandangan, pengemis dan pedagang asongan mendapatkan uang tanpa ada usaha kerja keras namun melanggar norma yang berlaku di masyarakat serta mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Persoalan ini menjadi dilema bagi pemerintah karena di satu sisi pemerintah melakukan pembinaan agar gepeng dan pedagang asongan tidak meminta-minta dan berjualan di jalanan, namun di sisi lain masyarakat memberikan sedekah di jalanan dan membeli sesuatu dari pedagang asongan tersebut, dan bahkan kegiatan gelandangan dan pengemis dilaksanakan melalui eksploitasi oknum-oknum tertentu untuk mencari keuntungan.

11.     HILANGNYA RUANG PUBLIK
Dalam praktiknya berbagai kepentingan dan fungsi perkotaan kerap harus mengorbankan fungsi kota lainnya. Kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tentu saja memerlukan lahan bagi pengembangan ekspansi kepentingan tersebut. Persoalannya, ruang dan wilayah perkotaan jumlahnya tetap, sehingga untuk kepentingan ekonomi tersebut harus menggunakan ruang wilayah fungsi kota lainnya. Yang kerap dikorbankan adalah ruang-ruang publik.
Sarana olahraga, pendidikan kerap harus tersingkir oleh kepentingan ekonomi.Kasus penggusuran sebuah sekolah di Kawasan Melawai Jakarta baru-baru ini, merupakan salah satu contoh betapa sebuah kepentingan ekonomi harus mengorbankan fungsi kota lainnya, meski itu juga penting, yakni pendidikan.
Pergeseran fungsi lahan atau penghilangan fungsi ruang publik, disadari atau tidak menimbulkan implikasi lain yang serius. Sejak puluhan tahun terakhir ini, ruang-ruang publik antara lain untuk keperluan olahraga harus dikorbankan. Akibantnya, anak-anak muda jakarta kehilangan tempat untuk mengekspresikan jiwa muda dan ”kelebihan energinya”.
Hidup di lingkungan dan ruang yang terbatas, tidak adanya sarana untuk mengekpresikan diri, menimbulkan dampak sosial yang serius. Perkelahian pelajar misalnya, salah satu penyebabnya adalah karena mereka kehilangan ruang publik tempat mengekspresikan jiwa mudanya.
Kondisi ini digambarkan secara cepat oleh Prijono Tjiptoherijanto:
Kebijaksanaan pembangunan perkotaan saat ini cenderung terpusat pada suatu arena yang memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk sehingga menimbulkan apa yang yang dikenal dengan nama daerah perkotaan. Sementara terdapat keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk.
Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih muda memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (Urbanisasi dan perkotaan di Indonesia, Artikel Harian Kompas, Senin, 8 Mei 2000)


PENUTUP

KESIMPULAN
Masalah sosial di perkotaan adalah pertambahan penduduk yang tidak terkendali, tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat kota dengan lingkungan di sekitar itu rendah sekali sehingga berdampak sangat besar. Di sini hukum rimba pun berlaku dimana yang kuat yang berkuasa dan yang lemah pasti akan tertindas. Tidak ada lagi yang namanya tepo seliro. Terjadilah kesenjangan sosial yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam kehidupan perkotaan. Dimana orang hanya akan memperdulikan dirinya sendiri dan tidak memperdulikan orang lain lagi.

SARAN-SARAN
Menurut kami, untuk fenomena sosial yang ada di masyarakat sekarang terletak pada pemerintah kota sendiri. Bagaimana mau menangani kota tersebut. Apakah kota tersebut mau di jadikan kota komersial atau kota budaya atau kota industri. Sehingga karakteristik kota tersebut ada. Kota dianggap dapat memenuhi kebutuhan semua orang karena berbeda dengan desa.


PENGARUH SEKTOR INFORMAL TERHADAP KEBUTUHAN RUANG DI PERKOTAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan sektor informal di Negara kita tidak terlepas dari proses pembangunan yang sedang dilaksanakan. Karena itu sektor informal telah menjadi pusat perhatian perencanaan pembangunan, terutama di Negara sedang berkembang, dan dipandang sebagai salah satu alternatif penting dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan. Pertumbuhan penduduk yang terbesar terjadi diperkotaan, dimana pertumbuhan ini bukan hanya diakibatkan oleh faktor kelahiran tetapi juga karena faktor migrasi. Adanya faktor-faktor ini tidak diimbangi dengan adanya  lapangan pekerjaan yang cukup. Dengan tingginya angka migrasi penduduk dari desa ke kota secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan permasalahan yang besar di perkotaan. Sebagian besar orang yang baru datang dari daerah asalnya belum tentu langsung mendapatkan pekerjaan, berarti masih mengganggur. Salah satu menanggulangi adalah dengan berusaha sendiri di sektor informal khususnya menjadi pedagang kaki lima. Selain faktor imigrasi yang merupakan salah satu penyebab munculnya sektor informal, penyebab lain yang menimbulkan adanya sektor informal adalah berkurangnya kesempatan kerja akibat meningkatnya angkatan kerja, baik yang diakibatkan oleh penduduk yang berimigrasi maupun penduduk asli yang ada didaerah tersebut. Secara otomatis penduduk yang setiap tahunnya bertambah membutuhkan biaya untuk keperluan hidupnya. Apalagi biaya hidup dikota sangat tinggi dan sangat jelas bahwa salah satu alternatif untuk mendapatkan penghasilan adalah berusaha di sektor informal.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Gambaran Umum Sektor Informal
Istilah “sektor informal” biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Tetapi akan menyesatkan bila disebut dengan “perusahaan” berskala kecil karena beberapa alasan berikut ini. Sektor informal dalam tulisan ini terutama dianggap sebagai suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang berkembang; karena itu mereka yang memasuki kegiatan berskala kecil ini di kota, terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Karena mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan sangat rendah, tidak trampil, dan  kebanyakan para migran, jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukan pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa banyak diantara mereka berusaha dan bahkan berhasil mengatasi hambatan-hambatan yang ada dan secara perlahan-lahan masuk ke dalam perusahaan berskala kecil dengan jumlah modal dan ketrampilan yang memadai, dan semestinya dengan orientasi yang lebih besar kepada keuntungan.
Dengan kata lain, sektor informal di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evolusi, daripada dianggap sebagai kelompok perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (inputs) modal dan pengelolaan (managerial) yang besar. Dasar pemikiran untuk mengadakan pembedaan yang demikian ini tidak perlu dipersoalkan lagi, juga mengenai signifikansi operasional dan kebijakannya. Misalnya, asumsi umum tentang program pengembangan perusahaan kecil pada umumnya tidak sahih (valid) bagi pengembangan sektor informal; kebijakan-kebijakan untuk pengembangan sektor ini harus melebihi program pengembangan perusahaan kecil dan mengidentifikasi serta memperbaiki faktor-faktor yang menyangkut evolusinya, termasuk lingkungan sektor informal.
Konseptualisasi sektor informal tersebut di atas, walaupun bermanfaat, namun belum dapat memecahkan masalah definisi. Masih dibutuhkan beberapa definisi untuk menentukan batas sektor ini baik dari sudut pandangan operasional maupun penelitian. Barangkali skala operasi adalah karakteristik terpenting yang muncul dari kerangka di atas dan dapat dipakai sebagai suatu alat untuk memisahkan kegiatan ekonomi sektor informal dari semua kegiatan ekonomi sektor-sektor lainnya. Meskipun skala operasi dapat diukur dengan berbagai macam cara, antara lain meliputi besarnya modal, omzet, dan lain-lain, tetapi karena ciri-ciri ini biasanya sangat erat hubungannya satu sama lain, maka alat ukur yang paling tepat untuk mengukur skala operasi adalah jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Melihat ekonomi kota sebagai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari unit-unit produksi dan distribusi, maka untuk kepentingan tulisan ini, unit-unit yang memiliki 10 orang ke bawah diklasifikasikan ke dalam sektor informal dalam segala bidang (meskipun ada kekecualian). (Manning, 1991: 90-91)
Tulisan Keith Hart, seorang antropol inggris untuk pertama kalinya melontarkan gagasannya mengenai sektor informal. Sejak munculnya konsep ini banyak penelitian dan kebijakan mulai menyoroti masalah kesempatan kerja kelompok miskin di kota secara khusus. Menurut Hart, kesempatan kerja di kota terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu formal , informal sah, dan informal yang tidak sah. Selain itu, pembedaan sektor formal dan informal dilihat dari ketentuan cara kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan waktu, serta status hukum kegiatan yang dilakukan. (Manning, 1991: 75)
           
B.   Urbanisasi Sebagai Salah Satu Faktor Timbulnya Sektor Informal
di Perkotaan
Di negara yang sedang berkembang, urbanisasi merupakan problem yang cukup kompleks untuk dipecahkan. Kota mempunyai daya tarik tertentu bagi orang desa, yaitu sebagai   pusat pembaharuan, pusat perkembangan ekonomi, puasat mode, pusat segala pendidikan, serta pusat hiburan. Dari berbagi observasi yang dilakukan motif orang desa pindah ke kota ada bermacam-macam, yaitu sebagai berikut :
a)    Melanjutkan pendidikan, karena di desa tidak tersedia atau mutunya kurang baik dibandingkan dengan di kota.
b)    Terpengaruh oleh informasi orang desa yang ada di kota bahwa kehidupan di kota lebih mudah.
c)    Tingkat upah lebih tinggi di kota.
d)    Keamanan lebih terjamin di kota.
e)    Adat atau agama lebih longgar  di kota.
 (Sukanto dan Karseno, 2001 : 111-112)
Proses urbanisasi di Indonesia disebabkan oleh faktor pendorong dan penarik. Faktor-faktor pendorong meliputi antara lain aspek-aspek ; perbandingan jumlah penduduk dengan luas tanah di pedesaan yang pincang, kurangnya lapangan kerja di luar bidang pertaniandan rendahnya pendapatan. Sedangkan faktor-faktor penarik mencakup antara lain aspek ; tarikan kota berupa lapangan kerja, upah yang lebih tinggi, kelengkapan prasarana dan sarana yang bada di kota, dan adanya selingan serta hiburan dalam kehidupan. (Radli Hendro Koetoer, 2001: 122)
Para migran yang mencari kerja dikota pada umumnya tidak memiliki keterampilan dan pendidikannya relatif rendah sehingga mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak seperti yang diinginkan, sehingga alternatif yang dipilih dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian dari mereka terjun ke sektor informal.

Dampak Sektor Informal Terhadap Kebutuhan Ruang di Perkotaan 
Studi Kasus :
MENATA PKL PERLU PENATAAN RUANG
Fenomena pertumbuhan suatu kota tentu diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk, akibat proses migrasi atau urbanisasi (baca: urbanward migration) dari daerah hinterland. Fenomena tersebut juga terjadi di Kota Semarang, di satu sisi merupakan permasalahan yang sangat mendesak untuk ditangani dan di satu sisi merupakan suatu proses yang tidak dapat dibatasi pertumbuhannya.
Upaya-upaya untuk menangani proses migrasi daerah hinterland menuju daerah pusat kota dengan kebijaksanaan pembatasan pertumbuhan penduduk menunjukkan tanda-tanda ketidakberhasilan.
Menurut Sturaman (1981), sektor informal kota dalam hal ini khusus pedagang kaki lima (PKL) semakin merebak di Kota Semarang. Munculnya sektor informal (PKL) tersebut merupakan implikasi adanya pertumbuhan dan perkembangan suatu kota.
Tata Ruang
Beberapa penanganan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam menangani permasalahan PKL antara lain dengan melakukan relokasi pedagang, seperti yang dilakukan pada PKL di Kokrosono. Kemudian rencana Pemkot memindahkan PKL dari Jl Citarum Raya ke Jl Citandui Selatan mendapat reaksi keras dari warga Bugangan. Warga mengaku keberatan dengan rencana tersebut karena khawatir PKL akan mengotori lingkungan. Mereka juga keberatan tanah milik Pemkot seluas 1.250 m2 yang akan digunakan sebagai tempat relokasi merupakan pusat aktivitas warga. Selain warga, reaksi keberatan juga dilontarkan oleh para pedagang yang berjualan di sisi selatan Jl Citarum Raya. Para pedagang itu keberatan karena tempat relokasi auh dari akses pembeli. Ada pro dan kontra dalam penataan PKL di Kota Semarang, pedagang dan warga tolak relokasi PKL (SM, 21 Maret 2005).
Hal yang perlu dicermati dalam penanganan PKL yang telah dilakukan di Kota Semarang adalah kurangnya pemahaman Pemerintah Kota terhadap kondisi dan karakterisasi PKL. Terkadang mereka asal main gusur, tanpa memperhatikan karakteristik PKL, baik karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Mestinya Pemkot tidak melakukan upaya eksekusi putusan secara sepihak dalam bentuk apa pun sebelum muncul suatu solusi yang menguntungkan bagi semua pihak (pedagang, warga dan Pemkot).
Keputusan perlu dilakukan musyawarah dengan para pedagang dan warga. Pemerintah perlu memberikan pembinaan terhadap PKL seperti tertuang dalam Perda Nomor 11/2000 pasal 9 yang berbunyi: ''Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah''. Sehingga mereka yang bergelut sebagai ''kaum marginal'' atau golongan''have nots'' dapat hidup yang layak sesuai dengan kemampuannya atas pekerjaan yang layak. Artinya bahwa kebijakan penataan PKL hendaknya jangan bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 38 ayat 1.
Oleh karenanya Pemkot dalam melakukan penataan PKL perlu memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL dan mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain nilai kepentingan semua pihak. (http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/12/kot20.htm)
BAB III
PENUTUP
Pada bab ini, penulis akan menarik beberapa kesimpulan berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya. Sebagai bahan masukan dari penyusun, maka akan dikemukakan beberapa saran sehubungan dengan dampak yang ditimbulkan sektor informal.
1.    Kesimpulan
Berdasarkan bahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut Sektor informal merupakan obat manjur terhadap masalah pekerjaan di perkotaan, dan dapat memberikan wadah untuk menumbuhkan bakat para pengusaha lokal.
2.    Rekomendasi  
Berikut ini akan diajukan saran untuk menjadi perhatian dalam penanganan masalah sektor informal diperkotaan yaitu dengan cara pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk  mengubah sektor informal menjadi formal, dalam artian Pemerintah harus bekerjasama dengan pihak yang ada di sektor informal dengan cara menyediakan lahan khusus untuk pedagang sektor informal.
Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan budaya dengan variasi geografis yang sangat beragam. Pertanyaan yang mendasar dapat diajukan adalah apakah kota-kota akan dikembangkan dengan substansi tertentu? Apakah pengembangan kota-kota di Indonesia mampu di generalisasi? Suatu langkah yang tampaknya akan sangat sulit untuk dilakukan ataupun andai kata dapat dilakukan akan mereduksi sangat besar nilai-nilai budaya lokal yang ada pada masing-masing kota yang tentunya sangat beragam dan unik. Untuk mencoba memecah pertanyaan tersebut maka dapat dilihat berbagai tipologi kota yang ada di Indonesia, yaitu :
a)  Tipologi berdasarkan kondisi geografis wilayah dikenal dengan pesisir,kotadelta, dan kota tepian air.
b)  Tipologi berdasarkan ukuran atau skala kota dikenal dengan kota kecil,kota sedang,kota besar, dan kota metro. Pembagian kota ini berdasarkan jumlah penduduk yang ada pada sebuh ruang kota.
c)  Tipologi berdasarkan proses politik atau pengambilan keputusan publik di sebuah kota dikenal kota otoriter dan kota yang demokratis.

d)  Tipologi berdasarkan penyelenggaraan penataan ruang dikenal dengan kota strategis nasional,kota di pusat kegiatan nasional,kota di pusat kegiatan wilayah, dan kota di pusat kegiatan lokal.

Fenomena Restaurant Cepat Saji (Fast Food Restaurant) di Palembang Studi Tentang Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat Dalam Pemilihan Makanan Kentucky Fried Chicken (KFC)

Fenomena Restaurant Cepat Saji (Fast Food Restaurant) di Palembang
Studi Tentang Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat Dalam Pemilihan Makanan Kentucky Fried Chicken (KFC)
Disusun Oleh
Kelompok 3
1.     Irwan Badri Sanjaya Putra 07091002023
2.     Putri Oktarina                     07101002077
3.     Ahmad Ali Mulian               07111002034
4.     Syarifah Anisah                            07111002083
5.     Tri Pratiwi                                    07111002077

Mata Kuliah                   : Perubahan Sosial
Dosen Pengasuh   : Vieronica Varbi Sununianti, S.Sos, M.Si


Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sriwijaya Inderalaya
Tahun Ajaran 2013-2014

 

 

Latar Belakang Masalah :

Indonesia telah diakui dunia sebagai sebuah negara yang memiliki keanekaragaman suku, budaya dan bahasa. Indonesia juga memiliki ribuan kuliner unik yang berbeda antara satu wilayah dan lainnya. Siapa pun mengakui bahwa kuliner di Indonesia sangat banyak ragamnya, mulai dari aneka racikan nasi, yang menjadi makanan wajib orang Indonesia, ragam kue, sayur dan lauk pauk, hingga aneka minuman.
Dengan banyaknya jenis kuliner tersebut, industri kuliner menjadi salah satu industri yang berkembang saat ini, seiring dengan berkembangnya pariwisata dalam negeri. Potensi industri kuliner yang sangat besar tersebut juga dibidik oleh para pelaku restoran-restoran yang menyajikan kuliner-kuliner dari luar negeri. Restoran-restoran asing selalu dipenuhi pengunjung masyarakat perkotaan.
Restoran adalah suatu tempat atau bangunan yang diorganisir secara komersil, yang menyelenggarakan pelayanan dengan baik kepada semua konsumennya baik berupa makanan maupun minuman. Rumah makan siap saji (fast food restaurant) adalah rumah makan yang menghidangkan makanan dan minuman dengan cepat, biasanya berupa hamburger atau ayam goreng. Kebanyakan rumah makan cepat yang beroperasi di Indonesia adalah berupa waralaba atau cabang dari perusahaan asing.

Rumusan Masalah :
Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah dan inti perumusan masalah diatas, maka masalah penelitian yang akan dikaji dapat dirumuskan kedalam pertanyaan penelitian berikut:
1.      Mengapa masyarakat Palembang lebih menyukai makanan siap saji seperti Kentucky Fried Chicken (KFC)?
2.      Bagaimana strategi pemasaran dari Kentucky Fried Chicken (KFC)?

Tinjauan Pustaka
Teori konsumerisme berkaitan erat dengan kehidupan serta gaya hidup yang konsumtif atau berlebihan terhadap suatu barang atau cenderung bersifat konsumtif. Teori ini memiliki penataan kesetaraan antara produsen dan konsumen serta mempertanyakan mengenai dampak pasar perekonomian pada konsumen demi kepentingan pembeli atau konsumen itu sendiri. Sehingga teori konsumerisme mengasumsikan terhadap suatu tindakan konsumen yang melahirkan gaya hidup berlebihan terhadap suatu barang produksi. Tokoh yang mencetuskan mengenai teori konsumerisme adalah Peirre Bodieu
Dalam pemikiran Baudrillard yaitu bahwa konsumsi membutuhkan manipulasi simbol-simbol secara aktif. Bahkan menurut Baudrillard, yang dikonsumsi membutuhkan bukan lagi use dan exchange value, melainkan symbolic value, maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau nilai tukarnya, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan konstruksi.
Konsumsi era ini dianggap sebagai suatu respon terhadap dorongan homogenisasi dari mekanisasi dan teknologi. Orang-orang mulai menjadikan konsumsi sebagai upaya ekspresi diri yang penting, bahasa umum yang kita gunakan untuk mengkomunikasikan dan interpretasi tanda-tanda budaya.
Konsumerisme juga terjadi seiring dengan ,meningkatnya ketertarikan masyarakat terhadap perubahan dan inovasi, sebagai respon terhadap hal yang baru, pengalaman baru dan citra baru.

Pembahasan
Menurut Baudrillard, masyarakat konsumen tidak lagi digerakan oleh kebutuhan dan tuntutan konsumen, melainkan oleh kapasitas produksi yang sangat besar. Sehingga masalah-masalah yang timbul dalam sistem masyarakat konsumen tersebut tidak lagi berkaitan dengan produksi melainkan dengan kontradiksi antara level produktivitas yang lebih tinggi denngan kebutuhan untuk mengatur, mendistribusikan produk. Oleh karena itu, kunci vital dalam sistem sekarang adalah mengontrol mekanisme produksi sekaligus permintaan konsumen sebagai bagian dari sisoalisasi yang terencana melalui kode-kode.
Konsumerisme sebagai suatu tren
Perilaku manusia dipengaruhi oleh perilaku manusia itu sendiri yang dilakukan berulang-ulang. Makan dapat disimpulkan, kebudayaan adalah suatu jentera yang berputar terus-menerus yang menggabungkan tiga pokok yaitu kenyataan lahiriah, ide dan perilaku manusia. Apabila kebiasaan-kebiasaan itu kita lakukan semisal cara makan, berpakaian dan lain-lain adalah kenyataan lahiriah maka dapat dikatakan contoh tersebut adalah bagian dari kebudayaaan.
Apabila kita kembalikan pada perssoalan gaya hidup yang konsumtif adalah suatu trend yang dibudayakan atau disebarluaskan. Bukannya suatu sistem gagasan, perilaku dan kenyataan masyarakat yang sangat heterogen namun suatu infasi kebudayaan asing yangdipaksakan menjadi sutu budaya homogen. Dengan demikian manusia konsumerisme hidup dalam kebebasan yang dimana kebebasan subjek dalam memilih sudah terpropaganda oleh gaya hidup konsumtif. Manusia menggunakan kebebasan memilihnya bukan lagi karena kemauan lahiriahnya akan kebutuhan barang tersebut, melainkan untuk kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan akibat konsumerisme.
Kesimpulan

Daftar Pustaka
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung; ALFABETA, 2012
Baudrillard, Jean P. Consumer Society. (edisi terjemahan Indonesia). 2004. Yogyakarta: Kreasi Wacana.hal 4

Lampiran

Kategori Informan :
1.      Konsumen yang sering ke KFC (pelanggan)
2.      Konsumen yang tidak pernah ke KFC (masyarakat)

Pedoman wawancara :
1.      Konsumen yang sering ke KFC (pelanggan)
a.       Mengapa anda lebih memilih makanan asing dibandingkan makanan indonesia ?
b.      Apakah anda rasa makanan di KFC enak?
c.       Apakah anda puas dengan pelayanan yang ada di KFC?
d.      Apakah anda rasa makanan di KFC sangat sehat?
e.       Apakah anda merasakan nyaman makan langsung diKFC?
f.       Apakah anda rasa makanan di KFC sangat murah?
g.      Seberapa sering anda makan di KFC?

2.      Konsumen yang tidak pernah ke KFC (masyarakat)
a.       Mengapa anda tidak pernah mencoba makan di KFC ?
b.      Andakah keinginan anda untuk mencoba makanan asing tersebut?
c.       Apakah anda rasa makanan di KFC sangat sehat?
d.      Apakah anda rasa makanan di KFC sangat mahal?
e.       Apakah anda sependapat dengan adanya isu-isu negatif mengenai makanan asing tersebut ?



Jumat, 05 April 2013


Agama dan Masyarakat
Menurut Emile Durkheim

Disusun Oleh
Nama                            : Putri Oktarina
NIM                     : 07101002077
Jurusan                : Sosiologi
Mata Kuliah                  : Sosiologi Agama
Dosen Pengasuh   : Rudy Kurniawan, S.Th.I, M.Si


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA INDRALAYA
TAHUN AJARAN 2012-2013
BAB I
PENDAHULUAN
 
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉkepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatukomunitas moral yang tunggal. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu sifatkudus dari agama dan praktek-praktek ritual dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapiagama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kitalihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinyatetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihatnanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis. Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan kepatuhan pada ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi). Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia. Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

1.    Fungsi Agama dalam Masyarakat
Fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, setiap saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, bersifat kongkret terjadi di sekeliling. Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan supramanusiawi dan ukhrowi. Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa mayarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua di mana pun tidak mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadat dengan kontinyu dan teratur, membaca kitab suci dan berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras, hidup secara sederhana, menahan diri dari tingkah laku yang tidak jujur, tidak berbuat yang senonoh dan mengacau, tidak minum-minuman keras, tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan tidak berjudi. Maka perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.

2.    Dimensi Komitmen Agama
Masalah fungsionalisme agama dapat dinalisis lebih mudah pada komitmen agama, menurut Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut, pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.

3. Hubungan Agama dengan Masyarakat
Telah kita ketahui Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan adat istiadat yang juga berhubungan dengan masyarakat dan agama. Dari berbagai budaya yang ada di Indonesia dapat dikaitkan hubungannya dengan agama dan masyarakat dalam melestraikan budaya.Sebagai contoh budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya. Hal ini membuktikan bahwa agama mempunyai hubungan yang erat dengan budaya sebagai patokan utama dari masyarakat untuk selalu menjalankan perintah agama dan melestarikan kebudayaannya.Selain itu masyarakat juga turut mempunyai andil yang besar dalam melestarikan budaya, karena masyarakatlah yang menjalankan semua perintah agama dan ikut menjaga budaya agar tetap terpelihara. Selain itu ada juga hubungan lainnya,yaitu menjaga tatanan kehidupan. Maksudnya hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan budaya dan masyarakat akan membentuk kehidupan yang harmonis,karena ketiganya mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lain. Sebagai contoh jika kita rajin beribadah dengan baik dan taat dengan peraturan yang ada,hati dan pikiran kita pasti akan tenang dan dengan itu kita dapat membuat keadaan menjadi lebih baik seperti memelihara dan menjaga budaya kita agar tidak diakui oleh negara lain. Namun sekarang ini agamanya hanyalah sebagi symbol seseorang saja. Dalam artian seseorang hanya memeluk agama, namun tidak menjalankan segala perintah agama tersebut. Dan di Indonesia mulai banyak kepercayaan-kepercayaan baru yang datang dan mulai mengajak/mendoktrin masyarakat Indonesia agar memeluk agama tersebut. Dari banyaknya kepercayaan-kepercayaan baru yang ada di Indonesia, diharapkan pemerintah mampu menanggulangi masalah tersebut agar masyarakat tidak tersesaat di jalannya. Dan di harapkan masyarakat Indonesia dapat hidup harmonis, tentram, dan damai antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya.

4.    Tipe-Tipe Kaitan Agama dalam Masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secra utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyrakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sacral ke dalam system nilai masyarakat secra mutlak.
2. Dalam keadaan lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi darpada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada system nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sacral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.

5.    Konflik Yang Ada Dalam Agama
Dalam perjalannya sejarah, sejak kepercayaan animisme dan dinamisme sampai monotheisme menjadi agama yang paling banyak dianut di muka bumi ini agama hampir selalu menciptakan perpecahan. Sebagai contoh, dalam agama India, khususnya Hindu-Budha, agama yang dibawa Sidharta Gautama ini merupakan rekasi dari ekses negative yang di bawa oleh agama Hindu. Walaupun agama Budha disebarkan dengan damai namun dapat dengan jelas terlihat bahwa masalah pembagian kasta dalam bingkai caturvarna menjadi masalah utama. Pada awalnya memang pembagian kasta ini merupakan spesialisasi pekerjaan, ada yang menjadi pemimpin agama, penguasa dan prajurit, dan rakyat biasa. Namun, dalam perjalannya terjadi penghisapan terutama dari pemimpin agama, prajurit, dan penguasa terhadap rakyat jelata. Implementasi yang salah dari caturvarna inilah yang diprotes dengan halus oleh Budha yang pada awalnya tidak menyebut diri mereka sebagai agama, tetapi berfungsi menebarkan cinta kasih terhadap sesama mahluk hidup, bukan saja manusia, tetapi juga hewan, dan tumbuhan. Sebagai reaksi dari meluasnya pengaruh Budha, Otoritas Hindu kemudian mengadakan pembersihan terhadap pengaruh Budha ini. Namun demikian, karena ajaran Budha lebih bersifat egaliter, usaha otoritas hindu ini menemui jalan buntu, bahkan agama Bundha sendiri dapat berkembang jauh lebih pesat dari pada agama Hindu, dan mendapat banyak pemeluk di Negara Tiongkok di kemudian hari.
Selain itu unsur konflik yang terbesar terjadi pula pada pengikut agama terbesar di dunia yaitu Abraham Religions, atau agama yang diturungkan oleh Abraham, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tulisan ini hanya membatasi pada penggambaran konflik di antara ketiga agama tersebut, bukan pada konflik intern dalam masing-masing agama tersebut. Inti dari agama-agama Abraham ini adalah akan datang nabi terakhir yang akan menyelamatkan dunia ini. Hal yang menjadi masalah utama adalah tidak ada kesepakatan diantara ketiga agama tersebut tentang siapa nabi yang akan datang tersebut. Pihak Yahudi menyatakan belum datang nabi terakhir itu, sedangkan pihak Nasrani mengatakan Nabi Isa (Yesus Kristus) adalah nabi terakhir, lalu Islam mengklaim Nabi Muhhamad sebagai nabi terakhir. Keadaan ini kemudian semakin diperparah ketika tidak ada pengakuan dari masing-masing agam yang masih bersaudara tersebut. Ketika berbagai unsure non-theologis, khususnya politik, ekonomi, dan budaya, menyusup ke dalam masalah ini, konflik memang tidak dapat dielakkan.
Berbagai konflik diantara agama-agama dipaparkan secara khusus:
1. konflik antara Yahudi dan Nasrani. Walaupun sumber konflik ini didasarkan atas kitab suci namun justru unsur dogmatis agama ini sangat mendukung pengambaran konflik yang terjadi. Menurut versi Yahudi, Nasrani adalah agama yang sesat karena menganggap Yesus sebagai mesias (juru selamat). Dalam pandangan Yahudi sendiri Yesus adalah penista agama yang paling berbahaya karena menganggap dirinya adalah anak Allah, sampai akhirnya otoritas Yahudi sendiri menghukum mati Yesus dengan cara disalibkan, sebuah jenis hukuman bagi penjahat kelas kakap pada waktu itu. Sedangkan menurut pandangan Kristen, umat Yahudi adalah umat pilihan Allah yang justru menghianati Allah itu sendiri. Untuk itu Yesus datang ke dunia demi menyelamatkan umat tersebut dari murka Allah. Dalam beberapa kesempatan, misalnya, ketika Yesus mengamuk di bait Allah karena dipakai sebagai tempat berjualan, atau dalam kasus lain yaitu penolakan orang Israel terhadap ajaran Yesus.
2. konflik Islam-Kristen. Konflik ini pada awalnya diilhami oleh kepercayaan bahwa Islam memandang Nasrani sebagai agama kafir karena mempercayai Yesus sebagai anak Allah, padahal dalam ajaran Islam Nabi Isa (Yesus) merupakan nabi biasa yang pamornya kalah dari nabi utama mereka Muhammad S.A.W. Konflik ini pada awalnya hanya pada tataran kepercayaan saja, namun ketika unsur politis, ekonomi, dan budaya masuk, maka konflik yang bermuara pada pecahnya Perang Salib selama beberapa abad menegaskan rivalitas Islam-Kristen sampai sekarang. Konflik itu sendiri muncul ketika Agama Kristen dan Islam mencapai puncak kejayaannya berusaha menunjukkan dominasinya. Ketika itu Islam yang berusaha meluaskan pengaruhnya ke Eropa, mendapat tantangan dari Nasrani yang terlebih dahulu ada dan telah mapan. Puncak pertempuran itu sebenarnya terjadi ketika perebutan Kota Suci Jerusalem yang akhirnya dimenangkan tentara salib. Sebagai balasan, Islam kemudian berhasil merebut Konstatinopel yang merupakan poros dagang Eropa-Asia pada saat itu.
3.  konflik antara Yahudi-Islam yang masih hangat dalam ingatan kita. Konflik ini berawal dari kepercayaan orang Yahudi akan tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka yang dipercayai terletak di daerah Israel, termasuk Yerusalem, sekarang. Pasca perbudakan Mesir, ketika orang Yahudi melakukan eksodus ke Mesir namun kemudian malah diperbudak sampai akhirnya diselamatkan oleh Musa, orang Yahudi kemudian kembali ke tanah mereka yang lama, yaitu Israel. Akan tetapi, pada saat itu orang Arab telah bermukim di daerah itu. Didasarkan atas kepercayaan itu, kemudian orang Yahudi mulai mengusir Orang Arab yang beragama Islam itu. Inilah sebenarnya yang menjadi akar konflik Israel dan Palestina dalam rangka memperebutkan Jerusalem. Konflik ini semakin panas ketika unsure politis mulai masuk.

6.      Ilmu Tentang Masyarakat
Perhatiannya terhadap struktur sosial mendorong Durkheim menggunakan ilmu pengetahuan (sains) untuk menjelaskan kehidupan sosial. Metode ilmiah yang dikembangkan kemudian dikenal dengan positivisme. Bagi Durkheim, struktur sosial sama obyektifnya dengan alam itu sendiri. Menurut Durkheim, sifat struktur diberikan kepada warga masyarakat sejak mereka lahir, sama seperti yang diberikan alam kepada fenomena alam. Masyarakat terdiri dari realitas fakta sosial yang sama bersifat eksternal dan menghambat individu. Kita tidak memilih untuk meyakini sesuatu yang kita yakini kini atau memilih tindakan yang kita ambil sekarang. Aturan-aturan kebudayaan yang sudah ada yang menentukan gagasan dan perilaku kita melalui sosialisasi individu dalam masyarakat. Jadi sama dengan karakteristik gejala alam yang merupakan produk dari aturan-aturan alam, demikian pula gagasan dan tindakan manusia adalah produk kekuatan sosial eksternal yang membentuk struktur sosial. Sehingga Durkheim mengungkapkan bahwa sosiologi dapat dan harus objektif karena berhubungan dengan realitas yang pasti dan substansil sebagaimana halnya yang dilakukan oleh ahli biologi.
Bagi kaum positivis metode ini meliputi pengamatan empiris, maka dalam sosiologi harus menyandarkan diri pada bukti empiris. Oleh karena perilaku ditentukan oleh oleh struktur sosial eksternal, ketika kita mengkuantifikasi jumlah (insidens) tindakan atau pikiran orang, yang kita dapatkan adalah bukti empiris dari kekuatan sejauh yang memproduksi perilaku dan keyakinan itu. Dengan demikian kita akan membangun ilmu tentang masyarakat yang dapat dijadikan pedoman untuk memahami bagaimana masyarakat diorganisasi, dalam konteks pengetahuan mengenai hukum yang mengatur perilaku sosial. Dalam masyarakat yang kuat dan tertib, kebebasan individual hanya dapat terjadi apabila keyakinan dan perilaku diatur dengan sebaik-baiknya melalui sosialisasi. Individu patuh kepada masyarakat dan kepatuhan ini adalah kondisi bagi kebebasannya. Bagi manusia, kebebasan berarti terbebas dari pemaksaan fisik yang membabi-buta, kondisi ini dicapai dengan mematuhi kekuatan besar dan cerdas, yakni masyarakat yang dibawah pengaturannya individi berlindung.

7.        Sifat dasar religius individu dan masyarakat
Dalam usaha memahami esensi fenomena keagamaan, Durkheim menyimpulkan bahwa agama sesungguhnya adalah masalah sosial. Agama adalah hal paling primitif dari segala fenomena sosial. Semua manifestasi lain dari aktivitas kolektif berasal dari agama dan melalui berbagai transformasi secara berturut-turut, antara lain menyangkut hukum, moral, seni, bentuk politik, dsb. Dengan menganalisis sistem totem bangsa primitif di Australia, Durkheim menyimpulkan bahwa totem merupakan simbol klan sekaligus simbol ketuhanan. Dengan demikian bukankah Tuhan dan masyarakat itu satu. Apa yang dianggap sakral itu adalah produk dari kelompok. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Bagi Durkheim perilaku masyarakat yang menganggap Tuhan atau menciptakan Dewa sama sekali tidak terlihat lagi kecuali tahun-tahun pertama berkecamuknya revolusi prancis. Agama sendiri cenderung berkembang jika memiliki dogma, simbol, altar dan perayaan-perayaan. Dengan demikian bentuk Tuhan atau dewa tidak terlalu penting, yang penting adalah representasi religius adalah representasi kolektif yang mengungkapkan realitas kolektif, ritus-ritus yang ada didalamnya adalah cara untuk bertindak yang hanya muncul ditengah-tengah kelompok saat berkumpul dan bertujuan untuk membangkitkan, mempertahankan atau membangun kembali berbagai kondisi mental kelompok itu (kesadaran kolektif).

8.      Teori Fakta Sosial
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme. Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap “fakta-fakta sosial”, istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu.
Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara. Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Durkheim dalam definisi di ini menggunakan paksaan sosial untuk mengidentifikasi alasan di balik tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tingkat paksaan tersebut akan terasa berbeda-beda. Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu. Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang lebih umum terhadap fakta sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau pandangan umum di dalam masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan bahwa fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung pada individu. Fenomena tersebut juga mempunyai efek yang memaksa. Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan interviu dalam penelitian empiris mereka. Walaupun kedua metode tersebut sebenarnya bukan monopoli paradigma ini. Metode observasi umpamanya ternyata tidak begitu cocok untuk studi fakta sosial`. Alasannya karena sebagian besar dari fakta sosial merupakan sesuatu yang dianggap sebagai barang sesuatu (a thing) yang nyata dan tidak dapat diamati secara langsung. Hanya dapat dipelajari melalui pemahaman (interpretative understanding). Selain dari itu metode observasi dinilai terlalu sempit dan kasar untuk tujuan penelitian fakta sosial. Informasi yang diperoleh melalui observasi selalu berbeda dengan informasi yang diperlukan oleh mereka yang menganut paradigma fakta sosial.
Sebagian besar fakta sosial tidak dapat diamati secara aktual. Padahal metode observasi hanya cocok untuk mempelajari gejala yang aktual saja. Metode eksperimen juga ditolak pemakaiannya. Alasannya karena terlalu sempit untuk dapat meneliti fakta sosial yang memang bersifat makrokoskopik. Persoalan sosial yang makroskopik ini justru tidak mudah dipelajari dalam laboratorium dengan metode eksperimen.
James Coleman (1977) mengakui bahwa kuesioner dan interviu kurang membukakan jalan ke arah penemuan fakta sosial seperti yang semula diharapkan oleh penganut paradigma fakta sosial itu sendiri. Kedua metode itu menurutnya terlalu individual centrist. Kurang memperhatikan aspek antar hubungan individu yang justru merupakan substansi fakta sosial. Selain itu, sumbangsinya dalam dunia penelitian sosiologi, Durkheim juga berpendapat mengenai hukum, bahwa dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi kolektif yang kuat terhadap penyimpangan-penyimpangan menjadi berkurang di dalam sistem yang bersangkutan karena hukum yang bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang restitutif. Artinya, yang terpokok adalah untuk mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan semuala, yang merupakan hal yang penting di dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa-sengketa.
BAB III
PENUTUP

Emile Durkehim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi dari dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim berusaha untuk melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk kemudian meletakan sosiologi ke atas dunia empiris. Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara. Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Contoh, disebuah sekolah seorang murid diwajibkan datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap menghormati guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertinfak, berpikir dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan si individu (murid). Bagi Durkheim teknik observasi dan interviu merupakan teknik analisis yang sistematis sebagai sebuah metode empiris. Fakta-fakta sosial yang menjadi kajian Durkheim adalah gejala yang mutlak yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Dan baginya individu adalah bagian dari masyarakat yang dipengaruhinya, masyarakatlah yang memaksa individu untuk ikut dalam tata norma masyarakat itu sendiri. Meskipun terkkesan terpaksa, namun ini merupakan sebuah kenyataan dan fakta sosial yang ia temui saat ia meneliti masyarakat-masyarakat. Pengaruh keluarga, pendidikan dan teman, secara langsung maupun tidak langsung telah memengaruhi pemikirannya dalam meneliti dan menafsirkan kejadian atau fakta yang ada di masyarakat itu.