Senin, 03 Oktober 2011

contoh rekrutmen politik

Membuat Rekrutmen Legislatif
Lebih Bermakna1
Sutoro Eko
Wajah pemimpin mencerminkan
wajah rakyatnya.
(Lord Acton).
Demokrasi membutuhkan persetujuan,
persetujuan membutuhkan legitimasi,
legitimasi membutuhkan kinerja, tetapi
kinerja bisa dikorbankan demi persetujuan.
(Larry Diamond)
Partai politik dan parlemen (legislatif) merupakan dua aktor utama masyarakat politik, yang memperoleh mandat dari masyarakat sipil, berperan mengorganisir kekuasaan dan meraih kontrol atas negara untuk kepentingan masyarakat. Peran partai politik itu diletakkan dalam arena pemilihan umum, yang di dalamnya terjadi kompetisi antarpartai dan partisipasi politik masyarakat sipil untuk memberikan mandat pada partai atau kandidat pejabat politik yang dipercayainya. Mengikuti logika demokrasi, para pejabat politik (legislatif dan eksekutif) -- yang telah memperoleh mandat melalui partisipasi politik masyarakat dalam pemilu -- harus mengelola sumberdaya ekonomi-politik (kekuasaan dan kekayaan) bersandar pada prinsip transparansi, akuntabilitas dan responsivitas untuk masyarakat. Dengan kalimat lain, jabatan-jabatan politik yang diperoleh dari mandat masyarakat itu bukan untuk kepentingan birokrasi, parlemen dan partai politik sendiri, melainkan harus dikembalikan secara akuntabel dan responsif untuk masyarakat. Prinsip ini sangat penting untuk diwacanakan dan diperjuangkan karena secara empirik membuktikan bahwa pemerintah, parlemen dan partai politik menjadi sebuah lingkaran oligharki yang jauh dari masyarakat.
Di sisi lain partai politik dan pemilihan umum merupakan tempat yang paling tepat untuk proses rekrutmen politik, dalam rangka mengorganisir kekuasaan secara demokratis. Rekrutmen merupakan arena untuk membangun kaderisasi, regenerasi, dan seleksi para kandidat serta membangun legitimasi dan relasi antara partai dengan masyarakat sipil. Selama ini ada argumen bahwa rekrutmen politik merupakan sebuah proses awal yang akan sangat menentukan kinerja parlemen (legislatif). Jika sekarang kapasitas dan legitimasi DPRD sangat lemah, salah satunya penyebabnya adalah proses rekrutmen yang buruk. Karena Undang-undang pemilihan umum sekarang telah menerapkan sistem proporsional terbuka, yang dimaksudkan untuk
1Bahan diskusi untuk Forum Kajian Analisis Sosial tentang “Menyukseskan Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2002 di Provinsi DIY”, yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Daerah DIY, Yogyakarta, 17 Desember 2003.
1
memperbaiki kualitas proses rekrutmen parlemen. Tetapi undang-undang itu akan menjadi barang yang mati kalau tidak action konkret yang lebih maju dalam proses rekrutmen.
Lalau ada apa rekrutmen parlemen (DPRD)? Apa saja masalah yang muncul selama ini sehingga perlu diperbaiki? Bagaimana ke depan menyongsong pemilu 2004 mendatang? Apakah undang-undang pemilu sudah cukup memberikan jaminan yang kuat untuk mendukung proses rekrutmen secara lebih baik? Bagaimana langkah-langkah konkret untuk membuat rekrutmen legislatif menjadi lebih bermakna?
Problem Rekrutmen
Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan signifikan dalam masyarakat politik. Pertama, perubahan dari bureaucratic government ke party government. Kedua, hadirnya multipartai yang jauh lebih terbuka dan kompetitif. Pemilihan umum 1999, misalnya, berlangsung jauh lebih demokratis, terbuka dan kompetitif, meski hasil-hasil politik pasca pemilu mengecewakan masyarakat. Ketiga, proses rekrutmen parlemen berlangsung lebih terbuka dan kompetitif, dengan campur tangan yang minimal dari tangan-tangan penguasa dan birokrasi. Keempat, parlemen baik pusat maupun daerah jauh lebih powerful ketimbang parlemen di masa lalu.
Tetapi perubahan itu bersifat transisional dan belum sempurna sehingga tidak mempunyai kontribusi yang pasti terhadap konsolidasi demokrasi, khususnya di sektor masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen politik parlemen, ada sejumlah gejala yang tidak kondusif bagi proses membangun demokrasi. Pertama, sistem pemilihan umum proporsional telah mengabadikan dominasi oligarki dalam proses rekrutmen. Elite partai di daerah sangat berkuasa penuh terhadap proses rekrutmen, yang menentukan siapa yang bakal menduduki “nomor topi” dan siapa yang sengsara menduduki “nomor sepatu”. Bagaimanapun pola oligarki elite itu tidak demokratis, melainkan cenderung memelihara praktik-praktik KKN yang sangat tertutup. Pola tidak menghasilkan parlemen yang representatif dan mandatori, melainkan parlemen bertipe partisan yang lebih loyal kepada partai politik.
Kedua, proses rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan partisipatif. Pihak kandidat sama sekali tidak mempunyai sense terhadap konstituen yang menjadi basisnya karena dia hanya “mewakili” daerah administratif (bukan konstituen yang sebenarnya), sehingga pembelajaran untuk membangun akuntabilitas dan responsivitas menjadi sangat lemah. Sebaliknya masyarakat juga tidak tahu siapa kandidat yang bakal mewakilinya, yang kelak akan membawa dan mempertanggungjawabkan mandat. Publik sering bilang bahwa masyarakat hanya bisa “membeli kucing dalam karung”. Masyarakat juga tidak bisa menyampaikan voice untuk mempengaruhi kandidat-kandidat yang duduk dalam daftar calon, karena hal ini merupakan otoritas penuh partai politik. Proses dialog yang terbuka antara partai dengan masyarakat hampir tidak ada, sehingga tidak ada kontrak sosial dimana masyarakat bisa memberikan mandat kepada partai. Masyarakat hanya memberikan “cek kosong” kepada partai yang kemudian partai bisa mengisi seenaknya sendiri terhadap “cek kosong” itu. Masyarakat memang berpartisipasi dalam proses rekrutmen, yakni dengan memberikan hak pilih dalam pemilu. Tetapi vote dari masyarakat itu bukanlah partisipasi yang sebenarnya, kecuali hanya sebagai ritual politik yang menempatkan masyarakat sebagai obyek mobilisasi. Lebih dari sekadar vote, partisipasi adalah voice, akses dan kontrol yang antara lain berlangsung dalam arena kontrak sosial antara partai dengan konstituen.
Ketiga, dalam proses rekrutmen tidak dibangun relasi (linkage) yang baik antara partai politik dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil hanya dipandang secara numerik sebagai angka, bukan sebagai konstituen yang harus dihormati dan dipejuangkan. Berbagai organisasi
2
masyarakat hanya ditempatkan sebagai underbow, sebuah mesin politik yang memobilisasi massa, bukan sebagai basis perjuangan politik partai. Sebaliknya, pihak aktivis organisasi masyarakat tidak memandang partai politik sebagai bagian dari gerakan sosial (social movement) untuk mempengaruhi kebijakan dan mengontrol negara, melainkan hanya sebagai “kendaraan politik” untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan. Akibatnya, para anggota parlemen hanya berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bukan pada misi perjuangan politik yang berguna bagi masyarakat. Bahkan ketika berhasil menduduki jabatan parlemen, mereka melupakan basis dukungan massa yang telah mengangkatnya meraih kekuasaan. Tidak sedikit anggota DPRD yang mengabaikan forum atau partisipasi ekstraparlementer, karena mereka mengklaim bahwa DPRD menjadi lembaga perwakilan paling absah dan partisipasi itu tidak diatur dalam udang-undang atau peraturan daerah.
Keempat, dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan “asal comot” terhadap kandidat yang dipandang sebagai “mesin politik” atau “mesin politik”. Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan. Para mantan tentara dan pejabat diambil bukan karena mempunyai visi-misi, melainkan karena mereka mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan. Para pengusaha dicomot karena mempunyai duit banyak yang bisa digunakan secara efektif untuk dana mobilisasi hingga money politics. Para selebritis diambil karena mereka mempunyai banyak penggemar. Para ulama (yang selama ini menjadi penjaga moral) juga diambil karena mempunyai pengikut masa tradisional. Partai politik secara mudah (dengan iming-iming tertentu) mengambil tokoh ormas, intelektual, atau akademisi di kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin menjadikan partai sebagai jalan untuk mobilitas vertikal. Sementara para aktivis, intelektual maupun akademisi yang konsisten pada misi perjuangannya tidak mau bergabung atau sulit diajak bergabung ke partai politik, sebab dalam partai politik tidak terjadi dialektika untuk memperjuangkan idealisme. Sekarang pendekatan “asal comot” yang dilakukan partai semakin kentara ketika undang-undang mewajibkan kuota 30% kursi untuk kaum perempuan.
Kelima, proses kampanye (sebagai bagian dari mekanisme rekrutmen) tidak diisi dengan pengembangan ruang publik yang demokratis, dialog yang terbuka dan sebagai arena untuk kontrak sosial untuk membangun visi bersama, melainkan hanya sebagai ajang show of force, banter-banteran knalpot, dan obral janji. Bagi para pendukung partai, kampanye menjadi ajang pesta dan arena untuk menyalurkan ekspresi identitas yang kurang beradab. Mereka bisa memperoleh “wur-wur” dalam bentuk jaket, topi, kaos, atribut-atribut partai lain secara gratis, menerima sembako atau sekadar uang bensin, dan lain-lain. Ketika kampanye digelar, yang hadir hanyalah fungsionaris partai dan para pendukungnya, bukan stakeholders yang luas untuk menyampaikan mandat dari masyarakat.
Keenam, proses pemilihan umum dan proses rekrutmen bekerja dalam konteks “massa mengambang” yang kurang terdidik dan kritis. Dalam jangka yang cukup panjang masyarakat Indonesia tidak memperoleh pendidikan politik secara sehat sehingga menghasilkan jutaan pemilih tradisional yang sangat rentan dengan praktik-praktik mobilisasi (mobilized voters). Sekarang, meski ada kebebasan yang terbuka, pendidikan politik secara sehat belum terjadi. Partai politik tidak memainkan peran yang memadai dalam pendidikan politik kepada masyarakat. Sampai sekarang sebagian besar rakyat Indonesia adalah silent majority, yang tenang, apatis (masa bodoh) dan tidak kritis dalam menghadapi proses politik. Akibatnya budaya politik yang partisipatif (civic culture) belum terbangun. Kondisi seperti ini tentu saja tidak memungkinkan terjadinya proses rekrutmen secara terbuka dan partisipatif.
Sekarang, lahirnya sistem proporsional terbuka, diharapkan bisa menjadi solusi alternatif atas kelemahan dan problem rekrutmen di atas. Banyak orang berharap sistem baru itu bisa
3
menciptakan proses relasi yang terbuka antara kandidat dengan konsituen, sehingga konstituen bisa mengenal lebih dekat terhadap kandidat dan bisa menghindari (mengurangi) kecenderungan “membeli kucing dalam karung”. Tetapi UU itu tidak memberikan jaminan yang memadai sebab, pertama, orang cenderung terjebak pada isu-isu formalistik dalam undang-undang ketimbang membicarakan hal-hal yang lebih substantif dan transformatif, dan kedua, menjelang 110 hari pemilihan umum 2004 belum ada tanda-tanda yang mengarah pada kemajuan secara signifikan. Di satu partai politik hanya sibuk untuk melakukan konsolidasi internal untuk reparasi mesin politik, sementara organisasi masyarakat sipil juga tunggang-langgang dalam mengorganisir rakyat.
Rekrutmen yang Bermakna
Antara rekrutmen untuk birokrasi dan rekrutmen untuk jabatan-jabatan politik (eksekutif dan legislatif) mempunyai perbedaan mendasar. Secara teoretis rekrutmen birokrasi membutuhkan model teknokratis, yang lebih mengedepankan prinsip profesionalitas, kualifikasi teknis, keahlian, pengalaman atau sering disebut merit system. Kalau terjadi KKN dalam proses rekrutmen birokrasi berarti mengingkari model teknokratis itu, dan dampaknya adalah birokrasi yang tidak profesional. Sedangkan rekrutmen jabatan politik membutuhkan model demokratis, yang mengedepankan proses pemilihan secara terbuka, kompetitif, dan partisipatif. Persetujuan dan legitimasi rakyat menjadi unsur utama dalam proses rekrutmen jabatan-jabatan politik, sebab pejabat politik itulah yang kemudian bakal membuat kebijakan dan memerintah rakyat.
Jangan sampai model teknokratis dan model demokratis itu diterapkan secara sembarangan agar tidak menimbulkan kekacauan. Kalau model demokratis dipaksakan (diterapkan) dalam rekrutmen birokrasi juga akan menimbulkan kekacuan politik. Jangan sampai pejabat birokrasi (dari dirjen, sekda hingga kepala bagian di desa) dipilih melalui proses yang demokratis, yang melibatkan partisipasi banyak orang. Jika model demokratis diterapkan, maka yang bakal terjadi adalah konflik kepentingan yang berlarut-larut dan jabatan yang bersangkutan akan menjadi medan tarik-menarik yang semakin rumit. Selain itu, pejabat administratif yang terpilih itu akan menghadapi dualisme akuntabilitas. Anda bisa bayangkan kalau jabatan Sekda harus ditentukan berdasarkan persetujuan DPRD. Secara organisatoris Sekda bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota, tetapi karena dia memperoleh persetujuan dari DPRD, maka dia juga harus “melayani” DPRD.
Sebaliknya model teknokratis perlu diminimalisir dalam rekrutmen pejabat politik. Sebagai contoh, persyaratan administratif (dari tingkat pendidikan sampai surat keterangan kelakuan baik) untuk calon pejabat politik (presiden, parlemen, gubernur, bupati/walikota, DPRD, kepala desa) tidak perlu dibuat secara eksplisit dan dipermasalahkan secara bertele-tele, sebab kunci utama rekrutmen mereka terletak pada persetujuan dan legitimasi dari rakyat. Rakyat yang terdidik, kritis dan bijak tidak akan buta dalam menentukan pilihannya terhadap calon pejabat politik. Mereka akan menggunakan kriteria kemampuan, komitmen, integritas, dan lain-lain untuk memilih calon pemimpin. Seandainya kalau ada orang bodoh, penjahat, preman, atau naradipadana terpilih menjadi pejabat politik mungkin karena proses rekrutmen yang tidak demokratis atau karena rakyat yang buta dan bodoh. Jika model demokratis diterapkan dengan baik, sementara hanya menghasilkan pemimpin yang bodoh dan berwatak penjahat, hal itu jelas-jelas mencerminkan wajah rakyatnya, seperti disampaikan Lord Acton.
Karena itu model demokratis harus diterapkan dengan baik dalam rekrutmen legislatif. Apa prinsip-prinsip dasarnya, dan bagaimana menerapkan model demokratis tersebut? Pertama, partai politik harus mempromosikan kandidat yang berkualitas, yakni yang memiliki kapasitas, integritas, legitimasi dan populer (dikenal) di mata masyarakat. Empat prinsip ini satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Masyarakat sekarang sangat peka terhadap persoalan
4
kemampuan (kapasitas) parlemen lokal. Publik sekarang, misalnya, sangat risau dengan latar belakang sosial-ekonomi anggota parlemen yang sangat berpengaruh terhadap kapasitas. “Yang benar saja. Masak preman, tukang batu, sopir, calo, bisa jadi DPRD. Mereka tahu apa. Apa mereka mampu. Itu namanya kere munggah bale”, demikian komentar seseorang yang pernah saya dengar. Kapasitas tidak harus diukur dari tingkat pendidikan, meskipun ini adalah ukuran nemerik paling dasar. Masyarakat tidak perlu menentukan standar sarjana misalnya sebagai persyaratan bagi kandidat parlemen. Kemampuan bisa ditempa melalui otodidak atau belajar (pengalaman) yang panjang di tengah-tengah masyarakat, bukan semata pengalaman yang lama di organisasi partai.2 Integritas berkaitan dengan moralitas dan visi kepribadian kandidat yang bersangkutan. Orang yang terbukti punya integritas tinggi bila terbukti bermoral yang adiluhung, jujur, mempunyai visi ideal tentang kemasyarakatan dan kenegaraan, berkiprah sebagai pejuang kebenaran dan keadilan yang benar-benar teruji. Sebaliknya publik bisa menilai seberapa besar integritas para politisi karbitan yang secara instan masuk menjadi kandidat dewan. Kandidat yang terbukti sebagai preman atau penjahat jelas tidak mempunyai integritas tinggi, dan karena itu harus dihindari oleh partai politik, apalagi oleh masyarakat. Legitimasi berarti pengakuan (penerimaan) dari masyarakat, karena memang kandidat yang bersangkutan mempunyai kandidat dan integritas. Sama seperti legitimasi, popularitas berarti kandidat yang bersangkutan benar-benar mengenal dan dikenal oleh berbagai komunitas masyarakat. Popularitas di sini tidak hanya berbicara “siapa” tetapi juga “apa” yang dilakukan oleh siapa itu. Banyak orang populer, dikenal luas oleh masyarakat, tetapi belum tentu popularitasnya karena kapasitas, integritas dan legitimasi.
Kedua, proses rekrutmen harus berlangsung secara terbuka. Masyarakat harus memperoleh informasi yang memadai dan terbuka tentang siapa kandidat parlemen dari partai politik, track record masing-masing kandidat, dan proses seleksi hingga penentuan daftar calon. Partai politik mempunyai kewajiban menyampaikan informasi (sosialisasi) setiap kandidatnya secara terbuka kepada publik. Di sisi lain, partai juga harus terbuka menerima kritik dan gugatan terhadap kandidat yang dinilai tidak berkualitas oleh masyarakat.
Ketiga, proses rekrutmen harus bersandar pada partisipasi elemen-elemen masyarakat sipil. Partisipasi bukan dalam bentuk mobilisasi massa atau penggunaan hak pilih (vote), tetapi yang jauh lebih penting adalah menguatnya suara (voice) dan kontrol masyarakat terhadap sepak terjang partai. Dalam memproses rekrutmen, partai memang harus memperhatikan suara atau aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Di sisi lain, elemen-elemen organisasi masyarakat sipil harus berjuang dan membangun jaringan untuk memperkuat partisipasi masyarakat tersebut. Sebagai contoh, partisipasi masyarakat sipil tersebut bisa dilakukan dengan cara politician tracking terhada kandidat yang disiapkan oleh partai. Politician tracking adalah upaya investigasi dan menampilkan seluruh track record setiap kandidat, yang bisa digunakan sebagai referensi bagi masyarakat dalam menjatuhkan pilihannya.
Keempat, partai politik mau tidak mau harus mengembangkan basis atau jaringan dengan komunitas atau organisasi masyarakat sipil. Basis (jaringan) tidak sekadar dalam bentuk organisasi underbouw yang selama ini dimiliki partai, melainkan mempromosikan banyak kandidat yang mempunyai komunitas di berbagai stakeholders. Partai perlu membuat pemetaan komunitas dalam hal ini. Yang jauh lebih penting, pengembangan basis (jaringan) itu adalah membangun kontrak-kontrak sosial dengan berbagai komunitas atau organisasi masyarakat
2Orang yang kawakan di partai cenderung elitis, oligharkis, konservatif dan pendukung status quo. Sama seperti di tentara, birokrasi, kampus maupun LSM. Artinya politisi kawakan tidak perlu lagi menjadi anggota parlemen.
5
secara luas. Kontrak sosial merupakan proses dialektika atau belajar bersama secara berkelanjutan untuk membangun visi, komitmen dan gerakan sosial. Mandat yang diperolah dari masyarakat dalam kontrak sosial merupakan dasar pijakan untuk perjuangan politik. Sebaliknya, masyarakat akan menggunakan kontrak sosial untuk mendesakkan mandat kepada partai dan menggunakan partai sebagai bagian dari gerakan sosial.
Kelima, penerapan rekrutmen politik dengan model demokratis membutuhkan dukungan pendidikan politik yang memadai kepada rakyat. Pendidikan politik bukan sekadar sosialisasi sistem kepartaian dan pemilihan umum, melainkan lebih penting dari itu adalah membangun kesadaran kritis rakyat tentang hak-hak politik mereka, tentang kepartaian dan pemilu, tentang kemasyarakatan maupun kenegaraan. Pendidikan politik juga sebagai wahana untuk membangun visi bersama di tengah-tengah komunitas dan sekaligus sebagai langkah awal untuk melakukan pengorganisasian masyarakat. Masyarakat yang well-informed, kritis secara politik dan well-organized akan memperkuat partisipasi dan menyumbangkan proses rekrutmen jauh lebih bermakna, lebih dari sekadar proses penipuan (manipulasi) yang selama ini dilkukan dengan obral janji.
6




10 TEORI TENTANG REKRUTMEN POLITIK

NO
TOKOH
TEORI
REFERENSI
1.
Prof.Gabriel Almond
Teori perbandingan politik oleh Gabriel A. AlmonD Resume.

Dalam menganalisa system politik, prof. Almond menggunakan tiga konsep dasar yang telah
dianggapnya dapat menjelaskan fenomena politik dalam suatu Negara yang mempunyai hubungan interaksi dengan masyarakat yang melingkupinya, baik masyarakat politik domestic maupun internasional. Adapun tiga konsep tersebut antara lain adalah sebagai berikut;


1. system politik

Sistem disini dapat diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya proses interaksi antara organ tertentu dengan masyarakat politik atupun lingkungannya. Dalam hubungan interaksi, tentu terdapat hubungan saling mempengaruhi dalam menentukan suatu kebijakan, seperti aspirasi masyarakat yang disuarakan sebagai tuntutan politik, sehingga dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Begitupula dengan suatu organ tertentu yang juga dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, terlebih lagi ia adalah instansi Negara atau pemerintahan.
Proses interaksi diatas dapat digambarkan sebagai berikut:





2. Struktur politik.

Umumnya struktur yang dimiliki oleh suatu system politik terdapat beberapa kategori seperti, kelompok kepentingan, partai politik, badan peradilan, dewan eksekutif, legislative, birokrasi dsb. Akan tetapi struktur tersebut tidak banyak membantu dalam memperbandingakan satu system politik yang satu terhadap system politik yang lainnya terkecuali struktur politik tersebut berjalan beriringan dengan fungsi dari system politik itu sendiri, atau dengan lain kata struktur dapat efektif dan tertata sejauh fungsinya sesuai dengan system politik yang ada.




bagan struktur politik pada umumnya




3. Struktur dan fungsi.

Apabila kita bisa mengetahui bagaimana bekerjanya suatu keseluruhan system, dan bagaimana lembaga-lembaga politik yang terstruktur dapat menjalan fungsi barulah analisa perpandingan politik dapat memiliki arti. Lembaga politik mempunya tiga fungsi sebagaimana yang telah digambarkan oleh prof Almond sebagai berikut;


a. Sosialisasi politik.

Merupakan fungsi untuk mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap politik di kalangan penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administrative, dan yudisial tertentu.

b. Rekruitmen politik.

Merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan, dan ujian.


c. komunikasi politik.

Merupakan jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam system politik.
Comparative Political Systems, in: Journal of Politics XVIII, August 1956, S. 391-409
2.
Ahmad Rizal
Mekanisne pembentukan system politik dilakukan melalui rekrutmen politik yang salah satu diantaranya adalah Pemilu. Kegiatan tersebut biasanya diikuti oleh partai-partai politik.


Rizali, Ahmad (1993) Rekrutmen politik Partai Persatuan Pembangunan : Studi sirkulasi elite politik lokal di Kotamadya Palembang 1977-1987. UNSPECIFIED thesis, UNSPECIFIED.
3.
Afan Gaffar
Rekrutmen politik dilaksanakan secara terbuka. Artinya, setiap orang yang mampu dan memenuhi syarat mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk menduduki suatu jabatan politik. Sebaliknya, dinegara yang tidak demokratis rekrutmen politik biasanya bersifat tertutup. Peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu saja.
Afan Gaffar,Politik Indonesia:Transisi Menuju Demokrasi,Yogyakarta,

Pustaka Pelajar 1999,hal.155-156.
4.
Cheng Prudjung
Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-aggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. Dalam pengertian lain, rekrutmen politik merupakan fungsi penyelekksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan sebagainya.
Ref:Prudjung,cheng 12/01/2010
5.
Winardi Wardhana
Berikut ini adalah tahap rekrutmen politik menurut penulis, Winardi Wardhana :
Tahap Terdidik. Tahap yang bisa dilalui oleh politikus untuk memahami strukturisasi politik dan pendidikan tentang kenegaraan. Anggota Partai Politik > Calon Anggota Legislatif > Kriteria ICW > Anggota Legislatif > Ketua DPR/MPR > Gubernur/Menteri > Pemilu > Presiden

Tahap Terlatih (berpengalaman). Tahap yang bisa menjadi strategi beberapa presiden di Indonesia dengan mengalami tata cara bernegara dalam kementerian terlebih dahulu. Anggota Partai Politik > Gubernur/Menteri > Pemilu > Presiden


Tahap Kepercayaan (langsung). Tahap seseorang dipercaya oleh Partai Politik yang dia ikuti dan maju sebagai calon presiden dalam pemilu melawan calon presiden lainnya. Anggota Partai Politik > Ketua ParPol > Pemilu > Presiden

Tahap Independensi. Tahap yang pernah diajukan oleh beberapa kalangan untuk maju sebagai presiden melalui dukungan banyak pihak untuk dipilih langsung dalam Pemilu. Tahap ini sempat diajukan oleh mahasiswa dan kaum independen pada Pemilu 2009. : Non ParPol (Independen) > Presiden
diakses 29 Nov 2010


6.
Winardi Wardhana
Bahwa rekrutmen politik mencakup pemilihan, seleksi, dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.
diakses 29 Nov 2010


7.
Ramlan Surbakti
Bahwa rekrutmen politik mencakup pemilihan, seleksi, dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.
Referensi
1.
Bangkapos.com - Opini,diakses 29 Nov 2010
8.
Afan Gaffar
Rekruitmen politik merupakan proses pengisian politik dalam jabatan negara.Proses ini menjadi salah satu tolak ukur penting bagi perkembangan dan pelaksanaan demokrasi sebuah negara.
Proses ini dalam implikasinya juga menentukan arah perjalanan politik suatu masyarakat.
Afan Gaffar,Politik Indonesia:Transisi Menuju Demokrasi,Yogyakarta,

Pustaka Pelajar 1999,hal.155-156.
9.
Prihatmoko Joko J.
Pemilihan Kepala Daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah baik Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Actor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, parpol dan calon kepala daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan pemilihan kepala daerah. Kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, penempatan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan calon terpilih.
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Semarang: Pustaka Pelajar, 2005,
h.200-203
10.
Prihatmoko Joko J.
Sistem rekrutmen politik memiliki keragaman yang tiada batas. Salah satu metode tertua yang digunakan untuk memperkokoh kedudukan pemimpin pemimpin politik adalah dengan penyortiran atau penarikan undian yang digunakan pada zaman yunani kuno. Yakni suatu metode yang dibuat untuk mencegah dominasi jabatan dari posisi yang berkuasa oleh kelompok individu tertentu dengan cara bergiliran atau rotasi.
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Semarang: Pustaka Pelajar, 2005,
h.200-203































BAB II




CONTOH REKRUITMEN POLITIK DI INDONESIA
1.Anas Usulkan Aturan “Merit system” Rekrutmen Politik
Antara - Kamis, 23 Desember

Anas Usulkan Aturan "Merit System" Rekrutmen Politik
VIVAnews -Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengusulkan adanya aturan untuk mendorong partai politik melakukan rekrutmen calon anggota legislatif berdasarkan "merit system" yang jelas parameternya, untuk memperbaiki kualitas.
"Parpol perlu didorong untuk melakukan rekrutmen calon-calon anggota legislatif dengan metode dan parameter yang obyektif. Merit sistem juga harus berlaku di parpol," kata Anas Urbaningrum di Jakarta, Kamis, pada diskusi akhir tahun 2010 bertemakan "Rekrutmen Partai Politik, Penegakan hukum dan Pemberantasan Korupsi".
Selain Anas Urbaningrum, diskusi itu juga menghadirkan Bambang Widjojanto, Teten Masduki dan Wali Kota DIY Herry Zudianto.
Menurut Anas, rekrutmen politik berdasarkan merit sistem diakuinya sangat tidak mudah, tetapi parpol harus mendorong.
"Merit system" merupakan pengelolaan sumber daya manusia yang didasarkan pada prestasi (merit) yaitu segenap perilaku kerja pegawai dalam wujudnya sebagai prestasi yang baik atau prestasi buruk dan berpengaruh langsung pada naik atau turunnya penghasilan dan/atau karir jabatan.
"Sudah harus ada sistem skor. Seperti apa?. Menurut saya harus diatur dalam UU. Perintah imperatif sehingga parpol mau tak mau harus melaksanakan," kata Anas.
Menurut Anas, di parpol sangat mungkin munculnya unsur suka dan tak suka.
Anas menegaskan, rekrutmen politik melalui "merit system" penting dilakukan untuk memperbaiki kualitas anggota legislatif. Anas mengakui jika dievaluasi anggota DPR RI, tidak semua anggota mempunyai kapasitas yang mumpuni.
"Ini terkait rekrutmen politik harus jadi bagian penting dari parpol," kata Anas.
Dalam kesempatan itu Anas juga mengatakan sampai sekarang dalam pemilu legislatif belum menerima calon perseorangan. Meskipun, tambah Anas, pada Pemilu 1955 pernah ada calon perorangan.
Top of Form



Hal Krusial di Rancangan UU Partai Politik
Misalnya persyaratan pendirian partai politik, rekening partai dan rekrutmen politik.


KAMIS, 3 JUNI 2010, 18:41 WIB
Arfi Bambani Amri
Lukman Hakim Saifudin (www.dpr.go.id)
VIVAnews- Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat mengundang pimpinan Partai Politik (Parpol) untuk membahas revisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Beberapa isu krusial mengemuka dalam pertemuan itu.

Wakil Ketua Baleg H. Sunardi Ayub mengatakan, Baleg DPR RI saat ini sudah memprogramkan penyusunan perubahan RUU Paket Politik, termasuk di dalamnya RUU Perubahan atas UU tentang Parpol. Revisi UU ini juga termasuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2010.


Penyusunan RUU Perubahan Paket Politik dilakukan pada awal periode keanggotaan Baleg, dimaksudkan agar dapat diselesaikan lebih awal sehingga persiapan tahapan Pemilu tahun 2014 dapat berjalan lebih baik.
Menurut Sunardi, ada beberapa isu yang belum terjawab dengan tuntas yang perlu mendapatkan berbagai masukan, di antaranya pengetatan persyaratan pendirian Partai Politik, pengetatan persyaratan kepengurusan Partai Politik, persyaratan rekening Partai Politik pada saat membentuk Partai Politik, perubahan anggaran dasar/anggaran rumah tangga, rekrutmen politik, sumbangan untuk parpol dan lain sebagainya.

Semua isu itu, katanya, perlu mendapatkan berbagai masukan guna penyempurnaan regulasi dimaksud, dan diharapkan dapat menyempurnakan Sistem Politik di Indonesia sehingga semakin memenuhi harapan masyarakat.

Pada kesempatan tersebut Wakil Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan Bidang Hukum dan Perundangan Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, perubahan dan penyempurnaan UU Partai Politik harus mengacu pada beberapa prinsip. Prinsip itu antaranya adalah sistem kepartaian yang dibangun haruslah memperkokoh NKRI, karena itu partai politik yang dibentuk haruslah bersifat nasional.

Prinsip yang lain, regulasi sistem kepartaian harus mendorong terciptanya iklim yang kondusif untuk tumbuh berkembangnya demokrasi dalam modernisasi dan mendorong berjalannya perkaderan dalam partai politik serta optimalisasi pendidikan politik bagi warga masyarakat.


Terhadap prinsip-prinsip pokok penyempurnaan, partainya memberikan beberapa substansi di antaranya persyaratan pendirian partai. Menurut partainya, UU No. 2 Tahun 2008 dalam Bab II telah merumuskan dengan baik tentang persyaratan pendirian dan pembentukan Partai Politik, yaitu dibentuk dan didirikan paling sedikit 50 orang warga negara Indonesia.

Menurut Lukman, hal ini sejalan dengan semangat dan ketentuan UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E ayat 3). “Prinsipnya, kami tidak perlu mempersulit pembentukan dan pendirian sebuah Partai Politik, akan tetapi agak memperketat Partai Politik sebagai peserta pemilu, untuk membangun/menciptakan sistem multi partai sederhana,” katanya dilansir laman DPR.

Selain itu, partainya juga menyoroti masalah rekening partai, di mana setiap Partai Politik harus memiliki rekening partai dengan jumlah dana minimal yang harus dimiliki ditentukan UU. Hal ini, kata Lukman, untuk mewujudkan kesungguhan membentuk Partai dan sekaligus sebagai modal awal untuk operasional Partai. Nominalnya bisa dirumuskan, setidaknya mencukupi untuk biaya operasional satu tahun pertama, misalnya Rp 1 miliar.


Terkait rekrutmen politik untuk jabatan-jabatan publik, partainya berpendapat hal itu tidak perlu diatur dalam UU. Partai Politik telah mempunyai ketentuan, aturan dan pedoman sesuai dengan kebijakan partainya masing-masing.


Jabatan publik memang merupakan salah satu ruang bagi partisipasi dan aktualisasi kader-kader partai dalam berperan serta memajukan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi kriteria loyalitas kader tidak berbanding lurus dengan lamanya menjadi anggota Partai.

Sedang untuk rangkap jabatan, menurut partainya, kepentingan Partai Politik juga kepentingan negara dan keberadaan Partai Politik juga tidak lepas dari kebutuhan negara, khususnya dalam mengembangkan demokrasi, menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Karena itu, katanya jabatan publik tidak seharusnya dipertentangkan dengan jabatan politik.



Rekrutmen Hakim Pajak Akan Diubah
Perubahan cara rekrutmen ini sebagai langkah memperbaiki kredibilitas hakim pajak.

RABU, 28 APRIL 2010, 19:51 WIB
Antique, Agus Dwi Darmawan
Menkeu, Sri Mulyani (VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis)
Kementerian Keuangan bersama dengan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sepakat memperbaiki cara rekrutmen hakim Pengadilan Pajak. Perubahan cara rekrutmen ini sebagai langkah memperbaiki kredibilitas hakim pajak yang selama ini dipertanyakan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, hakim pajak saat ini dipertanyakan karena dari sisi kompetensinya yang kebanyakan mantan atau pensiunan pegawai pajak. Artinya, dengan demikian bisa saja timbul kinerja yang tidak diinginkan.


"Tapi perlu dipahami bahwa maksud Hakim Pajak itu kualifikasinya dari mantan pegawai pajak, karena dengan pola seperti ini timbulconfidence," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Rabu 28 April 2010.


Kepercayaan yang dimaksud, hakim dengan posisinya sebagai pemutus suatu perkara jelas sangat mengetahui dasar dan aturan hukum dalam proses perpajakan.


Namun, karena pola rekrutmen seperti itu yang sekarang justru menimbulkan pertanyakan tentang kredibilitas hakim atas hal yang tidak diinginkan, maka itu yang akan diperbaiki.


"Akan ada tim yang memperbaiki prosedur dan kualifikasi hakim. Nanti, ada PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang mengaturnya," kata Sri Mulyani.


Menkeu menambahkan, selama ini nama-nama calon hakim memang diusulkan Kementerian Keuangan. Selanjutnya, nama hakim ini akan mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung yang selanjutnya SK hakim ditandatangani presiden. (umi)



BAB III

PEMBAHASAN TENTANG REKRUITMEN POLITIK
Rekruitmen politik adalah suatu proses dimana terjadi penseleksian calon-calon masyrakat yang dipilih untuk menempati kursi-kursi penting di dalam peranan politik.Termasuk dalam jabatan birokrasi dan jabatan administrasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan rekruitmen politik adalah:
· Factor pertama, ini bukan mempertanyakan atau membahas siapa yang akan menjadi bakal calon pemimpin untuk negeri ini kedepanya melainkan lebih menekankan terhadap:persoalan disekitar politik,kekuasaan rill dan berada disuatu historis.

“Persoalan disekitar politik” berarti setiap calon-calon pemimpin yang akan dipilih harus mampu mengoptimasasikan segala tenaga dan upaya nya untuk menyeimbangknan segala polemik-polemik yang sedang terjadi dinegara ini untuk dipersempit dampaknya.Sehingga iming-iming tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat luas untuk memilihnya sebagai calon pemimpin kedepanya.
“kekuasaan rill” berarti seorang calon pemimpin harus memiliki teknik yang tersimpan didalam konsep pikiranya untuk dikembangkan ketika telah menjadi pemimpin.Konsep tersebut berisi suatu cara bagimana mempengaruhi masyarakat luas sehingga mampu dipercaya untuk memimpin dalam periode yang lama dan abadi.

Unsur yang terakhir adalah “berada dalam suatu historis” artinya setiap pemimpin otomatis menginginkan nama dan jasa-jasanya selalu terekam dalam benak pikiran masyarakat dan setiap calon pemimpin harus mampu merangkai konsep tersebut sebelum dirinya terpilih menjadi pemimpin.

· Rekruitmen politik memiliki suatu pola-pola dalam konsepnya.Apabila kita menkaji pola-pola tersebut maka kita akan mnegetahui bahwa system nilai,perbedaan derajat,serta basis dan stratifikasi sosial terkandung didalam rekruitmen politik.Hal ini berarti rekruitmen politik mampu membangkitkan gap-gap didalam masyarakat dalam tingkatan-tingkatan peran masyarakat.Gap-gap ini berpengaruh besar dalam hubungan antar masyarakat.

· Pola-pola rekruitmen politik ini secara tidak disengaja menjadi indikator yang cukup penting untuk melihat pembangunan dan perubahan suatu negara.Didalam pola-pola ini memiliki keterkaitan antara rekruitmen dan perekonomian suatu negara mampu menkaji pergeseran ekonomi masyarakat,infrastruktur politik,serta derajat politisasi dan partisipasi masyarakat.Artinya pemimpin-pemimpin yang baru akan membentuk kebijakan-kebijakan terbarunya yang mengarah demi kemajuan negaranya serta factor politik menciptakan terjadinya iklim politik yang cukup mempengarauhi pergerakan ekonomi suatu Negara didalamnya.


Selanjutnya didalam proses rekruitmen politik kita akan mengenal beberapa prosedur-prosedur yang berlaku untuk mendapatkan suatu peran politik berupa:
· Pemilihan umum
Seluruh masyarakat Indonesia setiap 5 tahun sekali melaksanakan pemilihan umum yaitu kegiatan rakyat dalam memilih orang atau sekelompok orang untuk menjadi pemimpin bagi rakyatnya,pemimpin Negara,atau pemimpin didalam pemerintahan dan merupakan mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga Negara dalam proses memilih sebgaian rakyatnya menjadi pemimpin didalam pemerintahan.
· Ujian
· Training formal
· Sistem giliran


Sedangkan menurut teori Almond dan Powell prosedur-prosedur rekruitmen politik terbagi dalam dua bagian yaitu:

· Prosedur tertutup:artinya rekruitmen dilakukan oleh elit partai yang memiliki kekuasaan untuk memilih siapa saja calon-calon yang dianggap layak diberikan jabatan berdasarkan skill dan kapasitas yang dimilikinya untuk memimpin.Sehingga prosedur ini dianggap prosedur tertutup karna hanya ditentukan oleh segelintir orang

· Prosedur terbuka:artinya setiap masyarakat berhak untuk memilih siapa saja yang bakal menjadi calon pemimpin didalam negaranya serta pengumuman hasil pemenang dari kompetisi tersebut dilaksankan secra terbuka,dan terang-terangan.Dikenal dengan istilah
LUBER : Langsung Umum Bebas dan Rahasia
JURDIL : Jujur dan Adil


Didalam rekruitmen politik juga dikenal istilah jalur-jalur politik yang perlu kita ketahui secara luas kajian-kajianya antara lain:

· Jalur koalisi partai atau pimpinan-pimpinan partai artinya
Koalisi-koalisi partai merupakan bagian terpenting didalam rekruitmen politik karena sebagian besar kesepakatan dan pengangkatan politik di adopsi dari hasil koalisi-kolisi antar partai yang berperan dalam suatu lingkup politik.Artinya rekruitmen politik tidak terlepas dari peranan koalisi partai.

· Jalur rekruitmen berdasarkan kemempuan-kemampuan dari kelompok atau individu artinya

jalur ini menjadi kriteria dasar dalam perekrutan seseorang karena dinilai dari berbagai segi yaitu kriteria-kritreia tertentu,distribusi-distribusi kekuasaan,bakat-bakat yang terdapat didalam masyarakat,langsung tidak langsung menguntungkan partai politik.Semua factor-faktor tersebut perlu kita kaji dan fahami karena tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin.Kita harus mempunyai skill,kecakapan,keahlian untuk terjun kedalam dunia politik.Karena dunia politik merupakan dunia yang keras penuh persaingan taktik dan teknik.Bukan sembarang orang mampu direkrut untuk masuk kedalam dunia politik.Orang-orang tersebut terpilih karena memang memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang dianggap mampu menguntungkan negara maupun memberi keuntungan parta-partai tertentu.

· Jalur rekruitmen berdasarkan kaderisasi artinya

setiap kelompok-kelompok partai harus menyeleksi dan mempersiapkan anggota-anggotanya yang dianggap mampu dan cakap dalam mendapatkan jabatan-jabatan politik yang lebih tinggi jenjangya serta mampu membawa/memobilisasi partai-partai politiknya sehingga memberi pengaruh besar dikalangan masyarakat.Hal ini menjadi salah satu tujuan dari terbentuknya suatu partai politik yang perlu kita ketahui.Seperti yang terangkum didalam teori Almond dan G.Bigham powell menjelaskan “rekruitmen politik tergantung pula terhadap proses penseleksian didalam partai politik itu sendiri”.Jadi kesimpulanya setiap individu harus mempunyai skill yang mampu diperjualbelikan sehingga mampu menempati jabatan-jabatan penting suatu negara.



· Jalur rekruitmen politik berdasarkan ikatan promodial

Dizaman modern ini jalur rekruitmen promodial tidak menutup kemungkinan terjadi didunia politik.Fenomenal itu terjadi karena adanya hubungan kekerabatan yang dekat antara orang perorangan yang memiliki jabatan politik sehingga ia mampu memindahtangankan atau memberi jabatn tersebut kepada kerabat terdekatnya yang dianggap mampu dan cakap dalam mengemban tugas kenegaraan.Fenomena ini dikenal dengan nama “rekruitmen politik berdasarkan ikatan promodial”.

Contoh jalur rekruitmen politik berdasarkan ikatan promodial:seorang raja ketika wafat akan menyerahkan segala kekuasaanya kepada anak-anaknya,kekuasaan yang diberikan kepada keluarga besan,ketika perkawinan menantu lelaki yang diberi jabatan penting oleh mertuanya,karena memiliki persamaan marga atau suku seseorang mendapat jabatn dari sesame marga atau sukunya.

Fenomenal ini sering terjadi dan dikenal pula dengan istilah “system politik monarki” namun kekuasaan ini perkembanganya hanya disekitar kalangan-kalangan keluarga dan tidak meluas ataupun merata pembagian kekuasaanya.Hanya kelompok minoritas atau orang-orang penting yang dapat memperoleh jabatan politik didalam suatu system monarki seperti ini namun penulis lebih menyukai dan cenderung pada system politik yang demokratis karena pembagian kekuasaan cenderung lebih merarta sesuai dengan pancasila sila ke-2 “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Disini akan kami jelaskan mengapa fenomenal-fenomenal system pemerintahan yang momnarki itu terbentuk:
· Hal itu memang alamiah terjadi dan menjadi ciri utama dari setiap sistem artinya seorang pemimpin lebih mempercayai anggota keluarganya atau keturunanya untuk melenjutkan kekuasaan karena menjadi orang terdekat dalam interaksi sehari-hari dibanding orang-orang luar yang belum tentu menguntungkan bagi pihaknya.

· Sistem politik ini menunjukan bahwa stratifikasi social memng hidup dan berkembang didalam masyarakat. Stratifikasi didalam monarki tersebut masih memiliki keterkaitan dengan oligarki-oligarki,kaum elit,dan kelas-kelas. Kerasya dunia persaingan dan tingkatan-tingkatan dalam politik menuntut kita harus mampu menguasai teknik-teknik dalam berpolitik.


Selanjutnya materi yang perlu kita kaji adalah pentingya mengetahui pembagian jabatan didalam politik yaitu:

· Jabatan politik artinya jabatan yang diperoleh sebagai dari hasil pemilihan rakyatnya atau yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dan dikenal sebagai seorang “politikus”.Masa jabatanya hanya dua kali periode.

· Jabatan administratif artinya jabatan yang diperoleh secara manual melalui tahap-tahap pendidikan dan pelamaran kerja.Jabatan ini dianggap pasti dan mampu mampu menjamin hidup para “administrator” karena masa jabatanya berlangsung lama.Para administrator ini dikenal sebagai atribut negara karena menjadi indikator pelengkap dan pendukung dalam membantu tugas para politikus.


Perlu ada penyelidikan lebih lanjut didalam suatu birokrasi negara karena:
· Adanya pandangan kabur antara politikus dan administrator didalam masyarakat.Hampir sebagian masyarakat menganggap bahwa politikus dan administrator mengemban tugas dan jabatan yang sama.Hal ini menjadi pandangan yang salah yang perlu dikaji secara lebih luas sehingga kami menerangkan pngertianya seperti yang terangkum diatas.Bahkan di sejumlah sistem-sistem politik didunia berusaha untuk memisahkan pengertian antara jabatan politik dan administratif dengan cara melembagakan doktrin “netralitas politik” bagi para administrator.

Di Inggris ,pegawai-pegawai politik direkrut melalui badan politik yang netral.Sedangkan di Amerika Serikat partai yang berkuasa mengadakan perubahan personil secara ekstensif pada eselon yang lebih tinggi dari dinas sipil waktu memulai pemerintahan,meliputi perluasan pengawasan partai secara langsung terhadap jabatan administratif.Politikus dapat berganti-ganti setiap periode tetapi administrator tetap pada posisinya.

· Perbedaan pengertian antara jabatan administratif dan jabatan politik akan semakin kabur apabila kita memandang dari segi “periphery”( batas luar) menuju pusat sistem politik.Mengapa hal ini bias terjadi?karena segala kegiatan-kegiatan politk administrasinya dikelola para administrator maka keduanya saling berkesinambungan dan tidak dapat terlepas satu sama lain.



Sistem perekrutan politik terdiri dari beberapa cara yaitu:
· Seleksi pemilihan melalui ujian

· Latihan(training) Kedua hal tersebut menjadi indicator utama didalm perekrutan politik
·
Penyortiran atau penarikan undian(cara tertua yang digunakan diyunani kuno)
·
Rotasi memiliki tujuan mencegah terjadinya dominasi jabatan dari kelompok-kelompok yang berkuasa maka perlu adanya pergantian secara peeriode dalam jabatan-jabatan politik.
·
Perebutan kekuasaan dengan menggunakan atau mengancam dengan kekerasan.Cara ini tidak patut dicontoh karena untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah harus melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji karena kita telah dididik dengan baik dan harus menerapkan teknik-teknik yang baik pula dalam berpolitik.
·
Petronag artinya suatau jabatan dapat dibeli dengan mudah melalui relasi-relasi terdekat.Petronag masih memiliki keterkaitanya dengan budaya korupsi.

· Koopsi(pemilihan anggota-anggota baru)artinya memasukan orang-orang atau anggota baru untuk menciptakan pemikiran yang baru sehingga membawa suatu partai pada visi dan misi yang ditujunya





Kesimpulan

Rekruitmen politik adalah suatu proses penyeleksian individu untuk diletekan pada peranan-peranan politik yang penting didalam suatu negara.Peranan-peranan penting ini bukan sembarang orang dapat mendudukinya karena orang-orang didalamnya menentukan maju-mundurnya suatu negara.Maka didalam rekruitmen politk haruslah benar-benar mencari orang-orang yang memiliki skill dan kapasitas yang mamksimal karena ia kan mengemban tugas yang menyangkut masadepan suatu negara.

Didalam rekruitmen politik tidak menutup kemungkinan para calon-calonya melakukan teknik-teknik yang curang seperti: perebutan kekuasaan dengan menggunakan atau mengancam dengan kekerasan, Petronag,dll.
Cara-cara curang inilah yang mestinya harus dihindari karena dapat menghancurkan negara.Apabila jabatan disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan tidak memiliki kemampuan untuk memimpin maka hancurlah masa depan suatu negara.

Jadi kesimpulanya lakasanakanlah rekruitmen politik dinegara ini dengan LUBER : Langsung Umum Bebas dan Rahasia
JURDIL : Jujur dan Adil
Untuk menciptakan negara yang bersih dan aman.


Referensi: cenderung diambil dari referensi diadopsi dari semua teori,
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Semarang: Pustaka Pelajar, 2005,
h.200-203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar