MASALAH-MASALAH PERKOTAAN
PENDAHULUAN
Dewasa ini, kita sering mendengar berbagai masalah mengenai ibukota negara
Indonesia, jakarta. Pertumbuhan populasi manusia di kota talah memunculkan
berbagai masalah, seperti pencemaran atau polusi, banjir, sampah, air bersih,
transportasi, perumahan atau tempat tinggal, dan kebakaran, yang kesemuanya
dapat berdampak pada kesehatan, baik kesehatan manusia maupun kesehatan
lingkungan. Pemerintah pun juga sudah berupaya untuk mengatasi berbagai
permasalahan tersebut seperti pembangunan banjir kanal, penggunaan teknologi
pengolahan sampah, teknologi informasi untuk mitigasi bencana, penggunaan
teknologi untuk mengurangi dampak polusi, dan lain sebagainya.
Seiring dengan pertumbuhan pembangungan kota Metropolitab, muncul gagasan
untuk mengembangkan wilayah dari metropolitan ke megapolitan. Konsep
megapolitan tersebut, memerlukan telaah dan persiapan lintas disiplin ilmu dan
telaah mendalam dari berbagai sudut pandang, agar gagasan tersebut membawa
dampak pada kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup. Gagasan
tersebut merupakan salah satu upaya perencanaan konsep keberlanjutan masa depan.
PEMBAHASAN
1. BANJIR
Penyebab banjir di DKI Jakarta, secara umum terjadi karena dua faktor utama
yakni faktor alam dan faktor manusia. Penyebab banjir dari faktor alam antara
lain karena lebih dari 40% kawasan di DKI Jakarta berada di bawah muka air laut
pasang. Sehingga Jakarta Utara akan menjadi sangat rentan terhadap banjir
saat ini. Berbagai faktor penyebab memburuknya kondisi banjir Jakarta saat itu
ialah pertumbuhan permukiman yang tak terkendali disepanjang bantaran sungai,
sedimentasi berat serta tidak berfungsinya kanal-kanal dan sistem drainase yang
memadai. Kondisi ini diperparah oleh kecilnya kapasitas tampung sungai saat ini
dibanding limpasan (debit) air yang masuk ke Jakarta. Kapasitas sungai
dan saluran makro ini disebabkan karena konversi badan air untuk perumahan,
sedimentasi dan pembuangan sampah secara sembarangan
2. ARUS URBANISASI
YANG CEPAT
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 1995, tingkat urbanisasi
di Indonesia padatahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen
penduduk Indonesia tinggal didaerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari
sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yanglalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang
tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980
menjadi 64,09 persen pada tahun 1995.Meningkatnya kepadatan penduduk perkotaan
membawa dampak yang sangat besar kepadatingkat kenyamanan yang tinggi. Kota
seperti Jakarta misalnya tidak dirancang untuk melayanimobilitas penduduk lebih
dari 10 juta orang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta penduduk saat
ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang melaju dari berbagai kota sekitar Jakarta,
menjadikan Jakarta sangatlah sesak.
3. ARUS
URBANISASI YANG CEPAT
Urbanisasi menurut Prijono Tjiptoherijanto berarti
persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan mereka yang
awam dengan ilmu kependudukan seringkali mendefinisikan urbanisasi sebagai
perpindahan penduduk dari desa ke kota (Prijono, Urbanisasi, Kompas, Senin 8
Mei 2000).
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 1995,
tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang
berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan.
Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu.
Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6
persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995.
Meningkatnya kepadatan penduduk perkotaan membawa
dampak yang sangat besar kepada tingkat kenyamanan yang tinggi. Kota seperti
Jakarta misalnya tidak dirancang untuk melayani mobilitas penduduk lebih dari
10 juta orang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta penduduk saat ini,
ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang melaju dari berbagai kota sekitar
Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlah sesak.
Kedekatan jangkauan terhadap pusat-pusat perekonomian
di perkotaan, menjadikan daya tarik lain sehingga sebagian penduduk lebih
memilih tinggal di kota, meski mereka terpaksa tinggal di ruang yang sangat
terbatas. Akibatnya, area-area kumuh, dengan fasilitas kehidupan dan kebutuhan
umum yang terbatas, menjadi semakin meluas.
4. KRIMINALITAS
Kejahatan atau kriminalitas di kota-kota besar sudah menjadi permasalahan
sosial yang membuat semua warga yang tinggal atau menetap menjadi resah, karena
tingkat kriminalitas yang terus meningkat setiap tahunnya.faktor penyebab
Tingkat pengangguran yang tinggi , Kurangnya lapangan pekerjaan membuat tingkat
kriminal juga meningkat karena kurangnya lapangan pekerjaan danKemiskinan yang
dialami oleh rakyat kecil kadang membuat mereka berfikir untuk melakukan
tindakan kriminalitas.
Contoh tindak kejahatan adalah pencurian, perampokan, penjambretan,
pencopetan, pemalakan, korupsi, pembunuhan, dan penculikan. Banyaknya tindak
kejahatan menciptakan rasa tidak aman. Perampokan dan penodongan menggunakan
senjata api sering terjadi di kota besar. Di desa pun sering terjadi pencurian.
Misalnya, ada yang mencuri ternak, hasil pertanian, hasil hutan, dan
sebagainya.
Tindak kejahatan pencurian dan perampokan sering disebakan oleh masalah
kemiskinan dan pengangguran. Karena itu, pemerintah dan masyarakat harus
berusaha keras untuk menciptakan lapangan kerja. Selain itu, kualitas dan
pemerataan pendidikan harus ditingkat-kan untuk meningkatkan keterampilan dan
keahlian warga. Sementara itu, aparat keamanan, terutama polisi harus mampu
memberantas tindak kejahatan. Masyarakat diharapkan membantu polisi.
5. MENINGKATNYA
SEKTOR INFORMAL
Kesenjangan antara kemampuan menyediakan sarana
penghidupan dengan permintaan terhadap lapangan kerja, memacu tumbuhnya sektor
informal perkotaan.
Pada saat krisis ekonomi terjadi jumlah penduduk
perkotaan yang bekerja di sektor informal ini semakin besar. Di satu sisi
tumbuhnya sektor informal ini merupakan katup pengaman bagi krisis ekonomi yang
melanda sebagian besar Bangsa Indonesia. Namun, pada gilirannya peningkatan
aktivitas sektor informal, terutama yang berada di perkotaan dan menyita
sebagian ruang publik perkotaan, menimbulkan masalah baru terutama menyangkut
aspek kenyamanan dan ketertiban yang juga menjadi hak publik bagi warga
perkotaan yang lain.
6. DISPARITAS
PENDAPATAN ANTAR PENDUDUK PERKOTAAN (KESENJANGAN SOSIAL)
Perbedaan tingkat kemampuan, pendidikan dan akses
terhadap sumber-sumber ekonomi menjadikan persoalan perbedaan pendapatan
antarpenduduk di perkotaan semakin besar.
Di satu pihak, sebagian kecil dari penduduk perkotaan
menguasai sebagian besar sumber perekonomian. Sementara di sisi lain, sebagian
besar penduduk justru hanya mendapatkan sebagian kecil sumber perekonomian.
Akibatnya, terdapat kesenjangan pendapatan yang semakin lama semakin besar.
Sebagai bagian dari mekanisme pasar, kondisi ini
sebenarnya sah-sah saja dan sangat wajar terjadi. Persoalannya, ternyata dan
praktiknya disparitas pendapatan ini menimbulkan persoalan sosial yang tidak
ringan. Terjadinya kecemburuan sosial yang bermuara pada kerusuhan massal,
kerap terjadi karena persoalan ini. Dalam skala yang lebih kecil, meningkatnya
kriminalitas di perkotaan, merupakan implikasi tidak meratanya kemampuan dan
kesempatan untuk menikmati pertumbuhan perekonomian di perkotaan.
7. MENINGKATNYA
KEMACETAN
Pertumbuhan jumlah kendaraan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan
meningkatnya pendapatan penduduk, membawa implikasi lain bagi perkotaan.
Masalah kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan
oleh para pengambil kebijakan perkotaan.
Terbatasnya wilayah untuk memperluas jaringan jalan,
merupakan kendala terbesar sehingga penambahan ruas jalan yang dilakukan
pemerintah tak dapat mengimbangi laju pertambahan penduduk. Akibatnya persoalan
kemacetan lalu lintas ini semakin lama semakin menjadi.
Persoalannya semakin pelik, ketika pemerintah tidak
mampu menyediakan sarana transportasi umum dan massal yang memadai, sehingga
masyarakat lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi dan akhirnya menjadikan
masalah kemacetan ini makin menjadi.
Di lain pihak pembangunan kota-kota satelit di sekitar
Jakarta, tak mampu memecahkan masalah ini, karena para penduduk kota satelit
ini justru masih mencari penghidupan di Jakarta. Akibatnya pembangunan
kota-kota ini justru hanya memperluas sebaran daerah-daerah pusat kemacetan
lalu lintas.
8. KEBAKARAN
Masalah sosial lainnya yang juga sering dihadapi warga masyarakat di
lingkunganmu adalah kebakaran. Siapa yang pernah melihat kebakaran? Kebakaran
apa yang kamu saksikan itu? Apakah rumah atau hutan dan semak belukar? Apa yang
terjadi ketika kebakaran? Api melahap segala sesuatu dengan cepat, bukan?
Kebakaran yang terjadi di masyarakat umumnya merupakan kebakaran pemukiman.
Sebuah rumah terbakar dan menjalar ke rumah-rumah di sekitarnya. Penyebabnya
antara lain kompor meledak dan sambungan arus pendek (korsleting) listrik.
Karena itu, masyarakat harus sangat hatihati dengan dua hal ini. Kebakaran
pemukiman kumuh dan padat penduduk umumnya merusak sebagian bahkan seluruh
rumah yang ada di sana. Ini disebabkan karena bahan-bahan yang dipakai untuk
membangun rumah memang mudah terbakar. Selain itu, jalan masuknya sempit
sehingga sulit dijangkau oleh mobil pemadam kebakaran.
Kebakaran pemukiman sangat menyusahkan warga. Kita
harus berusaha mencegah terjadinya kebakaran di lingkungan kita. Caranya antara
lain sebagai berikut.
1. Merawat
kompor supaya layak pakai dan tidak bermasalah.
2. Merawat
jaringan listrik. Kabel yang mulai mengelupas diganti.
3. Mematikan
kompor setelah memasak.
4. Berhati-hati
menggunakan lilin dan korek api.
Kebakaran hutan sering terjadi pada musim kemarau. Asap kebakaran hutan
banyak sekali. Asap kebakaran hutan mengganggu kesehatan dan lalu lintas.
Selain itu, kawasan hutan akan semakin berkurang. Kalau terjadi kebakaran,
segera menghubungi Dinas Pemadam Kebakaran terdekat. Warga juga harus saling
membantu memadamkan api. Dan yang juga penting adalah mencegah terjadinya
kekacauan atau aksi pencurian yang biasanya ikut terjadi pada saat terjadi
kebakaran.
9. PENCEMARAN
LINGKUNGAN
Kamu sudah pernah belajar masalah pencemaran di Kelas 3. Apakah kamu masih
ingat macam-macam pencemaran? Ada pencemaran air dan pencemaran udara. Apa yang
menyebabkan pencemaran air seperti sungai, danau, waduk, dan laut? Perairan
bisa tercemar karena ulah manusia, misalnya membuang sampah ke sungai dan
menangkap ikan dengan menggunakan pestisida. Sungai, danau, atau waduk juga
menjadi tercemar kalau pabrik-pabrik membuang limbah industri ke sana.
Pencemaran mengakibatkan matinya ikan dan makhluk lainnya yang hidup di air.
Akhirnya, manusia juga menderita kerugian.
Pencemaran udara disebabkan asap kendaraan bermotor
dan asap pabrik-pabrik. Kamu yang tinggal di kota pasti menghadapi masalah ini
setiap hari. Kalau kamu habis jalan-jalan, coba usaplah wajahmu dengan
kapasbersih. Apa yang kamu lihat pada kapas itu? Kapas itu akan menjadi hitam
karena kotoran yang ada di wajahmu. Kotoran itu berasal dari debu dan asap
kendaraan bermotor. Udara yang kita hirup adalah udara yang sangat kotor.
Bayangkan apa yang terjadi dengan paru-paru kita, kalau kita menghirup udara
yang sangat kotor seperti itu. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk
mengatasi pencemaran udara. Misalnya, membuat taman kota dan menanam pohon
sebanyak-banyaknya. Kita sebagai warga negara sebaiknya ikut serta dalam
program ini. Selain itu, kalau kita memiliki kendaraan bermotor, usahakan
supaya kendaraan tersebut layak dipakai. Jangan sampai kendaraan milik kita
mengeluarkan banyak asap. Kalau bepergian ke mana-mana, sebaiknya menggunakan
kendaraan umum. Jumlah kendaraan di jalan jadi berkurang.
10. JUMLAH
ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) YANG MAKIN BANYAK.
Penyandang masalah sosial seperti
gelandangan dan pengemis (gepeng) dan pedagang asongan merupakan fenomena
sosial yang tidak dapat dihindarkan keberadaannya dari kehidupan masyarakat,
terutama yang berada di daerah perkotaan. Selama ini, kebijakan yang sering
diterapkan dalam menangani anak jalanan adalah dengan mendirikan rumah singgah.
Rumah singgah adalah konsep pembinaan anak jalanan dengan cara melokalisir
keberadaan mereka sehingga tidak hidup secara liar dan meresahkan masyarakat
sekitar. Namun keberadaan rumah singgah sering tidak menyelesaikan persoalan.
Banyak anak jalanan yang bosan dengan program rumah singgah yang diterapkan
oleh pemerintah daerah. Mereka lebih merasa bebas dan nyaman dengan tetap hidup
dengan cara mereka sendiri.
Keterbatasan sumber daya aparatur
pemerintah dan banyaknya masyarakat yang masih bersimpati dengan cara
memberikan sumbangan di persimpangan jalan dan di tempat-tempat umum lainnya
juga jadi kendala, serta adanya kenyataannya bahwa penghasilan gelandangan,
pengemis dan pedagang asongan dengan meminta sedekah dan berjualan di jalanan
lebih banyak daripada memiliki usaha sendiri yang permanen. Gelandangan,
pengemis dan pedagang asongan mendapatkan uang tanpa ada usaha kerja keras
namun melanggar norma yang berlaku di masyarakat serta mengganggu ketertiban
dan ketentraman masyarakat.
Persoalan ini menjadi dilema bagi
pemerintah karena di satu sisi pemerintah melakukan pembinaan agar gepeng dan
pedagang asongan tidak meminta-minta dan berjualan di jalanan, namun di sisi
lain masyarakat memberikan sedekah di jalanan dan membeli sesuatu dari pedagang
asongan tersebut, dan bahkan kegiatan gelandangan dan pengemis dilaksanakan
melalui eksploitasi oknum-oknum tertentu untuk mencari keuntungan.
11. HILANGNYA
RUANG PUBLIK
Dalam praktiknya berbagai kepentingan dan fungsi
perkotaan kerap harus mengorbankan fungsi kota lainnya. Kota sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi tentu saja memerlukan lahan bagi pengembangan ekspansi
kepentingan tersebut. Persoalannya, ruang dan wilayah perkotaan jumlahnya
tetap, sehingga untuk kepentingan ekonomi tersebut harus menggunakan ruang
wilayah fungsi kota lainnya. Yang kerap dikorbankan adalah ruang-ruang publik.
Sarana olahraga, pendidikan kerap harus tersingkir
oleh kepentingan ekonomi.Kasus penggusuran sebuah sekolah di Kawasan Melawai
Jakarta baru-baru ini, merupakan salah satu contoh betapa sebuah kepentingan
ekonomi harus mengorbankan fungsi kota lainnya, meski itu juga penting, yakni
pendidikan.
Pergeseran fungsi lahan atau penghilangan fungsi ruang
publik, disadari atau tidak menimbulkan implikasi lain yang serius. Sejak
puluhan tahun terakhir ini, ruang-ruang publik antara lain untuk keperluan
olahraga harus dikorbankan. Akibantnya, anak-anak muda jakarta kehilangan
tempat untuk mengekspresikan jiwa muda dan ”kelebihan energinya”.
Hidup di lingkungan dan ruang yang terbatas, tidak
adanya sarana untuk mengekpresikan diri, menimbulkan dampak sosial yang serius.
Perkelahian pelajar misalnya, salah satu penyebabnya adalah karena mereka
kehilangan ruang publik tempat mengekspresikan jiwa mudanya.
Kondisi ini digambarkan secara cepat oleh Prijono
Tjiptoherijanto:
Kebijaksanaan pembangunan perkotaan saat ini cenderung terpusat pada suatu
arena yang memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Hubungan positif antara
konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan
makin membesarnya area konsentrasi penduduk sehingga menimbulkan apa yang yang
dikenal dengan nama daerah perkotaan. Sementara terdapat keterkaitan timbal
balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk.
Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di
daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk tinggi serta memiliki sarana
dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai
biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan
cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka
akan lebih muda memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (Urbanisasi
dan perkotaan di Indonesia, Artikel Harian Kompas, Senin, 8 Mei 2000)
PENUTUP
KESIMPULAN
Masalah sosial di perkotaan adalah
pertambahan penduduk yang tidak terkendali, tingkat kesadaran dan kepedulian
masyarakat kota dengan lingkungan di sekitar itu rendah sekali sehingga
berdampak sangat besar. Di sini hukum rimba pun berlaku dimana yang kuat yang
berkuasa dan yang lemah pasti akan tertindas. Tidak ada lagi yang namanya tepo
seliro. Terjadilah kesenjangan sosial yang menyebabkan ketidakseimbangan
dalam kehidupan perkotaan. Dimana orang hanya akan memperdulikan dirinya
sendiri dan tidak memperdulikan orang lain lagi.
SARAN-SARAN
Menurut kami, untuk fenomena sosial yang
ada di masyarakat sekarang terletak pada pemerintah kota sendiri. Bagaimana mau
menangani kota tersebut. Apakah kota tersebut mau di jadikan kota komersial
atau kota budaya atau kota industri. Sehingga karakteristik kota tersebut ada.
Kota dianggap dapat memenuhi kebutuhan semua orang karena berbeda dengan desa.
PENGARUH SEKTOR INFORMAL TERHADAP
KEBUTUHAN RUANG DI PERKOTAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan sektor informal di
Negara kita tidak terlepas dari proses pembangunan yang sedang dilaksanakan.
Karena itu sektor informal telah menjadi pusat perhatian perencanaan
pembangunan, terutama di Negara sedang berkembang, dan dipandang sebagai salah
satu alternatif penting dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan. Pertumbuhan
penduduk yang terbesar terjadi diperkotaan, dimana pertumbuhan ini bukan hanya
diakibatkan oleh faktor kelahiran tetapi juga karena faktor migrasi. Adanya
faktor-faktor ini tidak diimbangi dengan adanya lapangan pekerjaan
yang cukup. Dengan tingginya angka migrasi penduduk dari desa ke kota secara
langsung maupun tidak langsung menimbulkan permasalahan yang besar di
perkotaan. Sebagian besar orang yang baru datang dari daerah asalnya belum
tentu langsung mendapatkan pekerjaan, berarti masih mengganggur. Salah satu
menanggulangi adalah dengan berusaha sendiri di sektor informal khususnya
menjadi pedagang kaki lima. Selain faktor imigrasi yang merupakan salah satu
penyebab munculnya sektor informal, penyebab lain yang menimbulkan adanya
sektor informal adalah berkurangnya kesempatan kerja akibat meningkatnya
angkatan kerja, baik yang diakibatkan oleh penduduk yang berimigrasi maupun
penduduk asli yang ada didaerah tersebut. Secara otomatis penduduk yang setiap
tahunnya bertambah membutuhkan biaya untuk keperluan hidupnya. Apalagi biaya
hidup dikota sangat tinggi dan sangat jelas bahwa salah satu alternatif untuk
mendapatkan penghasilan adalah berusaha di sektor informal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
Sektor Informal
Istilah “sektor informal”
biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala
kecil. Tetapi akan menyesatkan bila disebut dengan “perusahaan” berskala
kecil karena beberapa alasan berikut ini. Sektor informal dalam tulisan ini
terutama dianggap sebagai suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan
kerja di negara sedang berkembang; karena itu mereka yang memasuki kegiatan
berskala kecil ini di kota, terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja
dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Karena mereka yang terlibat
dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan sangat rendah, tidak
trampil, dan kebanyakan para migran, jelaslah bahwa mereka bukanlah
kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukan pengusaha
seperti yang dikenal pada umumnya. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada
pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi
dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa banyak diantara mereka
berusaha dan bahkan berhasil mengatasi hambatan-hambatan yang ada dan secara
perlahan-lahan masuk ke dalam perusahaan berskala kecil dengan jumlah modal dan
ketrampilan yang memadai, dan semestinya dengan orientasi yang lebih besar
kepada keuntungan.
Dengan kata lain, sektor informal
di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil
yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam
suatu proses evolusi, daripada dianggap sebagai kelompok perusahaan yang
berskala kecil dengan masukan-masukan (inputs) modal dan pengelolaan
(managerial) yang besar. Dasar pemikiran untuk mengadakan pembedaan yang
demikian ini tidak perlu dipersoalkan lagi, juga mengenai signifikansi
operasional dan kebijakannya. Misalnya, asumsi umum tentang program
pengembangan perusahaan kecil pada umumnya tidak sahih (valid) bagi
pengembangan sektor informal; kebijakan-kebijakan untuk pengembangan sektor ini
harus melebihi program pengembangan perusahaan kecil dan mengidentifikasi serta
memperbaiki faktor-faktor yang menyangkut evolusinya, termasuk lingkungan
sektor informal.
Konseptualisasi sektor informal
tersebut di atas, walaupun bermanfaat, namun belum dapat memecahkan masalah
definisi. Masih dibutuhkan beberapa definisi untuk menentukan batas sektor ini
baik dari sudut pandangan operasional maupun penelitian. Barangkali skala
operasi adalah karakteristik terpenting yang muncul dari kerangka di atas dan
dapat dipakai sebagai suatu alat untuk memisahkan kegiatan ekonomi sektor
informal dari semua kegiatan ekonomi sektor-sektor lainnya. Meskipun skala
operasi dapat diukur dengan berbagai macam cara, antara lain meliputi besarnya
modal, omzet, dan lain-lain, tetapi karena ciri-ciri ini biasanya sangat erat
hubungannya satu sama lain, maka alat ukur yang paling tepat untuk mengukur
skala operasi adalah jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Melihat ekonomi kota sebagai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari
unit-unit produksi dan distribusi, maka untuk kepentingan tulisan ini,
unit-unit yang memiliki 10 orang ke bawah diklasifikasikan ke dalam sektor
informal dalam segala bidang (meskipun ada kekecualian). (Manning, 1991: 90-91)
Tulisan Keith Hart, seorang
antropol inggris untuk pertama kalinya melontarkan gagasannya mengenai sektor
informal. Sejak munculnya konsep ini banyak penelitian dan kebijakan mulai
menyoroti masalah kesempatan kerja kelompok miskin di kota secara khusus.
Menurut Hart, kesempatan kerja di kota terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu
formal , informal sah, dan informal yang tidak sah. Selain itu, pembedaan
sektor formal dan informal dilihat dari ketentuan cara kerja, hubungan dengan
perusahaan, curahan waktu, serta status hukum kegiatan yang dilakukan.
(Manning, 1991: 75)
B. Urbanisasi
Sebagai Salah Satu Faktor Timbulnya Sektor Informal
di Perkotaan
Di negara yang sedang berkembang,
urbanisasi merupakan problem yang cukup kompleks untuk dipecahkan. Kota
mempunyai daya tarik tertentu bagi orang desa, yaitu
sebagai pusat pembaharuan, pusat perkembangan ekonomi, puasat
mode, pusat segala pendidikan, serta pusat hiburan. Dari berbagi observasi yang
dilakukan motif orang desa pindah ke kota ada bermacam-macam, yaitu sebagai
berikut :
a) Melanjutkan
pendidikan, karena di desa tidak tersedia atau mutunya kurang baik dibandingkan
dengan di kota.
b) Terpengaruh
oleh informasi orang desa yang ada di kota bahwa kehidupan di kota lebih mudah.
c) Tingkat
upah lebih tinggi di kota.
d) Keamanan
lebih terjamin di kota.
e) Adat
atau agama lebih longgar di kota.
(Sukanto dan Karseno, 2001
: 111-112)
Proses urbanisasi di Indonesia
disebabkan oleh faktor pendorong dan penarik. Faktor-faktor pendorong meliputi
antara lain aspek-aspek ; perbandingan jumlah penduduk dengan luas tanah di
pedesaan yang pincang, kurangnya lapangan kerja di luar bidang pertaniandan
rendahnya pendapatan. Sedangkan faktor-faktor penarik mencakup antara lain
aspek ; tarikan kota berupa lapangan kerja, upah yang lebih tinggi, kelengkapan
prasarana dan sarana yang bada di kota, dan adanya selingan serta hiburan dalam
kehidupan. (Radli Hendro Koetoer, 2001: 122)
Para migran yang mencari
kerja dikota pada umumnya tidak memiliki keterampilan dan pendidikannya relatif
rendah sehingga mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak seperti yang
diinginkan, sehingga alternatif yang dipilih dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
sebagian dari mereka terjun ke sektor informal.
Dampak Sektor Informal Terhadap
Kebutuhan Ruang di Perkotaan
Studi Kasus :
MENATA PKL PERLU PENATAAN RUANG
Fenomena pertumbuhan suatu
kota tentu diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk, akibat proses migrasi
atau urbanisasi (baca: urbanward migration) dari daerah hinterland.
Fenomena tersebut juga terjadi di Kota Semarang, di satu sisi merupakan
permasalahan yang sangat mendesak untuk ditangani dan di satu sisi merupakan
suatu proses yang tidak dapat dibatasi pertumbuhannya.
Upaya-upaya untuk menangani
proses migrasi daerah hinterland menuju daerah pusat kota dengan
kebijaksanaan pembatasan pertumbuhan penduduk menunjukkan tanda-tanda
ketidakberhasilan.
Menurut Sturaman (1981), sektor
informal kota dalam hal ini khusus pedagang kaki lima (PKL) semakin merebak di
Kota Semarang. Munculnya sektor informal (PKL) tersebut merupakan implikasi
adanya pertumbuhan dan perkembangan suatu kota.
Tata Ruang
Beberapa penanganan yang telah
dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam menangani permasalahan PKL antara lain
dengan melakukan relokasi pedagang, seperti yang dilakukan pada PKL di
Kokrosono. Kemudian rencana Pemkot memindahkan PKL dari Jl Citarum Raya ke Jl
Citandui Selatan mendapat reaksi keras dari warga Bugangan. Warga mengaku
keberatan dengan rencana tersebut karena khawatir PKL akan mengotori lingkungan.
Mereka juga keberatan tanah milik Pemkot seluas 1.250 m2 yang akan digunakan
sebagai tempat relokasi merupakan pusat aktivitas warga. Selain warga, reaksi
keberatan juga dilontarkan oleh para pedagang yang berjualan di sisi selatan Jl
Citarum Raya. Para pedagang itu keberatan karena tempat relokasi auh dari akses
pembeli. Ada pro dan kontra dalam penataan PKL di Kota Semarang, pedagang dan
warga tolak relokasi PKL (SM, 21 Maret 2005).
Hal yang perlu dicermati dalam
penanganan PKL yang telah dilakukan di Kota Semarang adalah kurangnya pemahaman
Pemerintah Kota terhadap kondisi dan karakterisasi PKL. Terkadang mereka asal
main gusur, tanpa memperhatikan karakteristik PKL, baik karakteristik lokasi
maupun karakteristik pasar PKL. Mestinya Pemkot tidak melakukan upaya eksekusi
putusan secara sepihak dalam bentuk apa pun sebelum muncul suatu solusi yang
menguntungkan bagi semua pihak (pedagang, warga dan Pemkot).
Keputusan perlu dilakukan
musyawarah dengan para pedagang dan warga. Pemerintah perlu memberikan
pembinaan terhadap PKL seperti tertuang dalam Perda Nomor 11/2000 pasal 9 yang
berbunyi: ''Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan pembinaan terhadap
PKL di daerah''. Sehingga mereka yang bergelut sebagai ''kaum marginal'' atau
golongan''have nots'' dapat hidup yang layak sesuai dengan kemampuannya atas
pekerjaan yang layak. Artinya bahwa kebijakan penataan PKL hendaknya jangan
bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 38
ayat 1.
Oleh karenanya Pemkot dalam melakukan
penataan PKL perlu memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik
pasar PKL dan mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain nilai
kepentingan semua
pihak. (http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/12/kot20.htm)
BAB III
PENUTUP
Pada bab ini, penulis akan
menarik beberapa kesimpulan berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab
sebelumnya. Sebagai bahan masukan dari penyusun, maka akan dikemukakan beberapa
saran sehubungan dengan dampak yang ditimbulkan sektor informal.
1. Kesimpulan
Berdasarkan bahasan diatas maka
dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut Sektor informal merupakan obat manjur
terhadap masalah pekerjaan di perkotaan, dan dapat memberikan wadah untuk
menumbuhkan bakat para pengusaha lokal.
2. Rekomendasi
Berikut ini akan diajukan saran
untuk menjadi perhatian dalam penanganan masalah sektor informal diperkotaan
yaitu dengan cara pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengubah
sektor informal menjadi formal, dalam artian Pemerintah harus bekerjasama dengan
pihak yang ada di sektor informal dengan cara menyediakan lahan khusus untuk
pedagang sektor informal.
Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan
budaya dengan variasi geografis yang sangat beragam. Pertanyaan yang mendasar
dapat diajukan adalah apakah kota-kota akan dikembangkan dengan substansi
tertentu? Apakah pengembangan kota-kota di Indonesia mampu di generalisasi?
Suatu langkah yang tampaknya akan sangat sulit untuk dilakukan ataupun andai
kata dapat dilakukan akan mereduksi sangat besar nilai-nilai budaya lokal yang
ada pada masing-masing kota yang tentunya sangat beragam dan unik. Untuk
mencoba memecah pertanyaan tersebut maka dapat dilihat berbagai tipologi kota
yang ada di Indonesia, yaitu :
a) Tipologi berdasarkan kondisi
geografis wilayah dikenal dengan pesisir,kotadelta, dan kota tepian air.
b) Tipologi berdasarkan ukuran atau skala kota dikenal dengan kota kecil,kota sedang,kota besar, dan kota metro. Pembagian kota ini berdasarkan jumlah penduduk yang ada pada sebuh ruang kota.
c) Tipologi berdasarkan proses politik atau pengambilan keputusan publik di sebuah kota dikenal kota otoriter dan kota yang demokratis.
b) Tipologi berdasarkan ukuran atau skala kota dikenal dengan kota kecil,kota sedang,kota besar, dan kota metro. Pembagian kota ini berdasarkan jumlah penduduk yang ada pada sebuh ruang kota.
c) Tipologi berdasarkan proses politik atau pengambilan keputusan publik di sebuah kota dikenal kota otoriter dan kota yang demokratis.
d) Tipologi berdasarkan
penyelenggaraan penataan ruang dikenal dengan kota strategis nasional,kota di
pusat kegiatan nasional,kota di pusat kegiatan wilayah, dan kota di pusat
kegiatan lokal.