Agama
dan Masyarakat
Menurut
Emile Durkheim
Disusun
Oleh
Nama : Putri Oktarina
NIM
: 07101002077
Jurusan
: Sosiologi
Mata
Kuliah : Sosiologi Agama
Dosen Pengasuh : Rudy Kurniawan, S.Th.I, M.Si
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA INDRALAYA
TAHUN
AJARAN 2012-2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Definisi agama menurut Durkheim
adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang
berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉkepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek
yang bersatu menjadi suatukomunitas moral yang tunggal. Dari definisi ini ada
dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama,
yaitu sifatkudus dari agama dan praktek-praktek ritual dari agama. Agama
tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural,
tetapiagama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan
menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di
sini dapat kitalihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari
substansi isinyatetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga
akan melihatnanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya,
dan memiliki sifat yang historis. Agama bukanlah suatu entitas independen yang
berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu
kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan
barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian
dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya
perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan
seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya
religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari
perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan kepatuhan pada
ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta
apa yang baik dan yang buruk. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada
tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada
keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus
dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan
pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Agama
memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk
berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis
dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa
nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila
potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui
pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan
hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau
implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau
menggunakan narkoba dan main judi). Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam
arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus
dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila
nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan
mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu
karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan
hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Menurut
Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi
yang merupakan anggotanya. Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang
menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada
Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran
kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila:
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara
kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1%
dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3%
Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya. Dalam UUD 1945 dinyatakan
bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan
kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut
agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya
mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan
Konghucu. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di
Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu,
kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar
kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah
menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia. Berdasar sejarah, kaum
pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di
dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan
Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah
dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Fungsi Agama dalam Masyarakat
Fungsi agama
dalam masyarakat ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari, yaitu
kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Teori fungsional dalam melihat
kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks
dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sistem sosial
yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi,
berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, setiap saat mengikuti
pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, bersifat kongkret terjadi di
sekeliling. Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka
acuan yang bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi
sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa
istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan supramanusiawi
dan ukhrowi. Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, di mana agama
menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa
mayarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan
mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua di mana pun tidak mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadat dengan kontinyu dan teratur, membaca kitab suci dan berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras, hidup secara sederhana, menahan diri dari tingkah laku yang tidak jujur, tidak berbuat yang senonoh dan mengacau, tidak minum-minuman keras, tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan tidak berjudi. Maka perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua di mana pun tidak mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadat dengan kontinyu dan teratur, membaca kitab suci dan berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras, hidup secara sederhana, menahan diri dari tingkah laku yang tidak jujur, tidak berbuat yang senonoh dan mengacau, tidak minum-minuman keras, tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan tidak berjudi. Maka perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.
2. Dimensi
Komitmen Agama
Masalah
fungsionalisme agama dapat dinalisis lebih mudah pada komitmen agama, menurut
Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek,
pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang
religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti
kebenaran ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu
perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut,
pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan,
perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat
formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai
perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan
mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi,
mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang
bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan
dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku
perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
3. Hubungan Agama dengan
Masyarakat
Telah kita ketahui Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan adat
istiadat yang juga berhubungan dengan masyarakat dan agama. Dari berbagai
budaya yang ada di Indonesia dapat dikaitkan hubungannya dengan agama dan
masyarakat dalam melestraikan budaya.Sebagai contoh budaya Ngaben yang
merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga
kelestariannya. Hal ini membuktikan bahwa agama mempunyai hubungan yang erat
dengan budaya sebagai patokan utama dari masyarakat untuk selalu menjalankan
perintah agama dan melestarikan kebudayaannya.Selain itu masyarakat juga turut
mempunyai andil yang besar dalam melestarikan budaya, karena masyarakatlah yang
menjalankan semua perintah agama dan ikut menjaga budaya agar tetap
terpelihara. Selain itu ada juga hubungan lainnya,yaitu menjaga tatanan
kehidupan. Maksudnya hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan
budaya dan masyarakat akan membentuk kehidupan yang harmonis,karena ketiganya
mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lain. Sebagai contoh jika kita rajin
beribadah dengan baik dan taat dengan peraturan yang ada,hati dan pikiran kita
pasti akan tenang dan dengan itu kita dapat membuat keadaan menjadi lebih baik
seperti memelihara dan menjaga budaya kita agar tidak diakui oleh negara lain.
Namun sekarang ini agamanya hanyalah sebagi symbol seseorang saja. Dalam artian
seseorang hanya memeluk agama, namun tidak menjalankan segala perintah agama
tersebut. Dan di Indonesia mulai banyak kepercayaan-kepercayaan baru yang
datang dan mulai mengajak/mendoktrin masyarakat Indonesia agar memeluk agama
tersebut. Dari banyaknya kepercayaan-kepercayaan baru yang ada di Indonesia,
diharapkan pemerintah mampu menanggulangi masalah tersebut agar masyarakat
tidak tersesaat di jalannya. Dan di harapkan masyarakat Indonesia dapat hidup
harmonis, tentram, dan damai antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya.
4. Tipe-Tipe
Kaitan Agama dalam Masyarakat
Kaitan agama
dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan
sebenarnya secra utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
a. Masyarakat
yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.
Masyarakat tipe
ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyrakat menganut agama yang
sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok
keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain.
Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sacral ke dalam system
nilai masyarakat secra mutlak.
2. Dalam keadaan lain selain keluarga relatif belum
berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan
dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Masyarakat
praindustri yang sedang berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang
lebih tinggi darpada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada
system nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan
yang sacral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.
5. Konflik
Yang Ada Dalam Agama
Dalam perjalannya sejarah, sejak kepercayaan animisme dan dinamisme
sampai monotheisme menjadi agama yang paling banyak dianut di muka bumi ini
agama hampir selalu menciptakan perpecahan. Sebagai contoh, dalam agama India,
khususnya Hindu-Budha, agama yang dibawa Sidharta Gautama ini merupakan rekasi
dari ekses negative yang di bawa oleh agama Hindu. Walaupun agama Budha
disebarkan dengan damai namun dapat dengan jelas terlihat bahwa masalah
pembagian kasta dalam bingkai caturvarna menjadi masalah utama. Pada awalnya
memang pembagian kasta ini merupakan spesialisasi pekerjaan, ada yang menjadi
pemimpin agama, penguasa dan prajurit, dan rakyat biasa. Namun, dalam
perjalannya terjadi penghisapan terutama dari pemimpin agama, prajurit, dan
penguasa terhadap rakyat jelata. Implementasi yang salah dari caturvarna inilah
yang diprotes dengan halus oleh Budha yang pada awalnya tidak menyebut diri mereka
sebagai agama, tetapi berfungsi menebarkan cinta kasih terhadap sesama mahluk
hidup, bukan saja manusia, tetapi juga hewan, dan tumbuhan. Sebagai reaksi dari
meluasnya pengaruh Budha, Otoritas Hindu kemudian mengadakan pembersihan
terhadap pengaruh Budha ini. Namun demikian, karena ajaran Budha lebih bersifat
egaliter, usaha otoritas hindu ini menemui jalan buntu, bahkan agama Bundha
sendiri dapat berkembang jauh lebih pesat dari pada agama Hindu, dan mendapat
banyak pemeluk di Negara Tiongkok di kemudian hari.
Selain itu unsur konflik yang terbesar terjadi pula pada pengikut agama
terbesar di dunia yaitu Abraham Religions, atau agama yang diturungkan oleh
Abraham, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tulisan ini hanya membatasi pada
penggambaran konflik di antara ketiga agama tersebut, bukan pada konflik intern
dalam masing-masing agama tersebut. Inti dari agama-agama Abraham ini adalah
akan datang nabi terakhir yang akan menyelamatkan dunia ini. Hal yang menjadi
masalah utama adalah tidak ada kesepakatan diantara ketiga agama tersebut
tentang siapa nabi yang akan datang tersebut. Pihak Yahudi menyatakan belum
datang nabi terakhir itu, sedangkan pihak Nasrani mengatakan Nabi Isa (Yesus
Kristus) adalah nabi terakhir, lalu Islam mengklaim Nabi Muhhamad sebagai nabi
terakhir. Keadaan ini kemudian semakin diperparah ketika tidak ada pengakuan
dari masing-masing agam yang masih bersaudara tersebut. Ketika berbagai unsure
non-theologis, khususnya politik, ekonomi, dan budaya, menyusup ke dalam
masalah ini, konflik memang tidak dapat dielakkan.
Berbagai konflik diantara agama-agama dipaparkan secara khusus:
1. konflik antara Yahudi dan Nasrani. Walaupun sumber konflik ini
didasarkan atas kitab suci namun justru unsur dogmatis agama ini sangat
mendukung pengambaran konflik yang terjadi. Menurut versi Yahudi, Nasrani
adalah agama yang sesat karena menganggap Yesus sebagai mesias (juru selamat).
Dalam pandangan Yahudi sendiri Yesus adalah penista agama yang paling berbahaya
karena menganggap dirinya adalah anak Allah, sampai akhirnya otoritas Yahudi
sendiri menghukum mati Yesus dengan cara disalibkan, sebuah jenis hukuman bagi
penjahat kelas kakap pada waktu itu. Sedangkan menurut pandangan Kristen, umat
Yahudi adalah umat pilihan Allah yang justru menghianati Allah itu sendiri.
Untuk itu Yesus datang ke dunia demi menyelamatkan umat tersebut dari murka
Allah. Dalam beberapa kesempatan, misalnya, ketika Yesus mengamuk di bait Allah
karena dipakai sebagai tempat berjualan, atau dalam kasus lain yaitu penolakan
orang Israel terhadap ajaran Yesus.
2. konflik Islam-Kristen. Konflik ini pada awalnya diilhami oleh
kepercayaan bahwa Islam memandang Nasrani sebagai agama kafir karena
mempercayai Yesus sebagai anak Allah, padahal dalam ajaran Islam Nabi Isa
(Yesus) merupakan nabi biasa yang pamornya kalah dari nabi utama mereka
Muhammad S.A.W. Konflik ini pada awalnya hanya pada tataran kepercayaan saja,
namun ketika unsur politis, ekonomi, dan budaya masuk, maka konflik yang
bermuara pada pecahnya Perang Salib selama beberapa abad menegaskan rivalitas
Islam-Kristen sampai sekarang. Konflik itu sendiri muncul ketika Agama Kristen
dan Islam mencapai puncak kejayaannya berusaha menunjukkan dominasinya. Ketika
itu Islam yang berusaha meluaskan pengaruhnya ke Eropa, mendapat tantangan dari
Nasrani yang terlebih dahulu ada dan telah mapan. Puncak pertempuran itu
sebenarnya terjadi ketika perebutan Kota Suci Jerusalem yang akhirnya
dimenangkan tentara salib. Sebagai balasan, Islam kemudian berhasil merebut
Konstatinopel yang merupakan poros dagang Eropa-Asia pada saat itu.
3. konflik antara Yahudi-Islam
yang masih hangat dalam ingatan kita. Konflik ini berawal dari kepercayaan
orang Yahudi akan tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka yang dipercayai
terletak di daerah Israel, termasuk Yerusalem, sekarang. Pasca perbudakan
Mesir, ketika orang Yahudi melakukan eksodus ke Mesir namun kemudian malah
diperbudak sampai akhirnya diselamatkan oleh Musa, orang Yahudi kemudian
kembali ke tanah mereka yang lama, yaitu Israel. Akan tetapi, pada saat itu
orang Arab telah bermukim di daerah itu. Didasarkan atas kepercayaan itu,
kemudian orang Yahudi mulai mengusir Orang Arab yang beragama Islam itu. Inilah
sebenarnya yang menjadi akar konflik Israel dan Palestina dalam rangka
memperebutkan Jerusalem. Konflik ini semakin panas ketika unsure politis mulai
masuk.
6.
Ilmu Tentang Masyarakat
Perhatiannya
terhadap struktur sosial mendorong Durkheim menggunakan ilmu pengetahuan
(sains) untuk menjelaskan kehidupan sosial. Metode ilmiah yang dikembangkan
kemudian dikenal dengan positivisme. Bagi Durkheim, struktur sosial sama
obyektifnya dengan alam itu sendiri. Menurut Durkheim, sifat struktur diberikan
kepada warga masyarakat sejak mereka lahir, sama seperti yang diberikan alam
kepada fenomena alam. Masyarakat terdiri dari realitas fakta sosial yang sama
bersifat eksternal dan menghambat individu. Kita tidak memilih untuk meyakini
sesuatu yang kita yakini kini atau memilih tindakan yang kita ambil sekarang.
Aturan-aturan kebudayaan yang sudah ada yang menentukan gagasan dan perilaku
kita melalui sosialisasi individu dalam masyarakat. Jadi sama dengan
karakteristik gejala alam yang merupakan produk dari aturan-aturan alam,
demikian pula gagasan dan tindakan manusia adalah produk kekuatan sosial
eksternal yang membentuk struktur sosial. Sehingga Durkheim mengungkapkan bahwa
sosiologi dapat dan harus objektif karena berhubungan dengan realitas yang
pasti dan substansil sebagaimana halnya yang dilakukan oleh ahli biologi.
Bagi kaum
positivis metode ini meliputi pengamatan empiris, maka dalam sosiologi harus
menyandarkan diri pada bukti empiris. Oleh karena perilaku ditentukan oleh oleh
struktur sosial eksternal, ketika kita mengkuantifikasi jumlah (insidens)
tindakan atau pikiran orang, yang kita dapatkan adalah bukti empiris dari
kekuatan sejauh yang memproduksi perilaku dan keyakinan itu. Dengan demikian
kita akan membangun ilmu tentang masyarakat yang dapat dijadikan pedoman untuk
memahami bagaimana masyarakat diorganisasi, dalam konteks pengetahuan mengenai
hukum yang mengatur perilaku sosial. Dalam masyarakat yang kuat dan tertib,
kebebasan individual hanya dapat terjadi apabila keyakinan dan perilaku diatur
dengan sebaik-baiknya melalui sosialisasi. Individu patuh kepada masyarakat dan
kepatuhan ini adalah kondisi bagi kebebasannya. Bagi manusia, kebebasan berarti
terbebas dari pemaksaan fisik yang membabi-buta, kondisi ini dicapai dengan
mematuhi kekuatan besar dan cerdas, yakni masyarakat yang dibawah pengaturannya
individi berlindung.
7.
Sifat dasar religius
individu dan masyarakat
Dalam usaha
memahami esensi fenomena keagamaan, Durkheim menyimpulkan bahwa agama
sesungguhnya adalah masalah sosial. Agama adalah hal paling primitif dari
segala fenomena sosial. Semua manifestasi lain dari aktivitas kolektif berasal
dari agama dan melalui berbagai transformasi secara berturut-turut, antara lain
menyangkut hukum, moral, seni, bentuk politik, dsb. Dengan menganalisis sistem
totem bangsa primitif di Australia, Durkheim menyimpulkan bahwa totem merupakan
simbol klan sekaligus simbol ketuhanan. Dengan demikian bukankah Tuhan dan
masyarakat itu satu. Apa yang dianggap sakral itu adalah produk dari kelompok.
Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta
sosial nonmaterial. Bagi Durkheim perilaku masyarakat yang menganggap Tuhan
atau menciptakan Dewa sama sekali tidak terlihat lagi kecuali tahun-tahun
pertama berkecamuknya revolusi prancis. Agama sendiri cenderung berkembang jika
memiliki dogma, simbol, altar dan perayaan-perayaan. Dengan demikian bentuk
Tuhan atau dewa tidak terlalu penting, yang penting adalah representasi
religius adalah representasi kolektif yang mengungkapkan realitas kolektif,
ritus-ritus yang ada didalamnya adalah cara untuk bertindak yang hanya muncul
ditengah-tengah kelompok saat berkumpul dan bertujuan untuk membangkitkan,
mempertahankan atau membangun kembali berbagai kondisi mental kelompok itu
(kesadaran kolektif).
8. Teori
Fakta Sosial
Perhatian
Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas
dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang
keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial
di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu
pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Durkheim adalah salah satu
orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari
masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam
mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat suatu posisi yang kelak
dikenal sebagai fungsionalisme. Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih
daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan
sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi
tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan
lebih kepada penelitian terhadap “fakta-fakta sosial”, istilah yang
diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang
tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial
mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif
daripada tindakan-tindakan individu.
Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara. Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Durkheim dalam definisi di ini menggunakan paksaan sosial untuk mengidentifikasi alasan di balik tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tingkat paksaan tersebut akan terasa berbeda-beda. Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu. Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang lebih umum terhadap fakta sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau pandangan umum di dalam masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan bahwa fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung pada individu. Fenomena tersebut juga mempunyai efek yang memaksa. Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan interviu dalam penelitian empiris mereka. Walaupun kedua metode tersebut sebenarnya bukan monopoli paradigma ini. Metode observasi umpamanya ternyata tidak begitu cocok untuk studi fakta sosial`. Alasannya karena sebagian besar dari fakta sosial merupakan sesuatu yang dianggap sebagai barang sesuatu (a thing) yang nyata dan tidak dapat diamati secara langsung. Hanya dapat dipelajari melalui pemahaman (interpretative understanding). Selain dari itu metode observasi dinilai terlalu sempit dan kasar untuk tujuan penelitian fakta sosial. Informasi yang diperoleh melalui observasi selalu berbeda dengan informasi yang diperlukan oleh mereka yang menganut paradigma fakta sosial.
Sebagian besar fakta sosial tidak dapat diamati secara aktual. Padahal metode observasi hanya cocok untuk mempelajari gejala yang aktual saja. Metode eksperimen juga ditolak pemakaiannya. Alasannya karena terlalu sempit untuk dapat meneliti fakta sosial yang memang bersifat makrokoskopik. Persoalan sosial yang makroskopik ini justru tidak mudah dipelajari dalam laboratorium dengan metode eksperimen.
James Coleman (1977) mengakui bahwa kuesioner dan interviu kurang membukakan jalan ke arah penemuan fakta sosial seperti yang semula diharapkan oleh penganut paradigma fakta sosial itu sendiri. Kedua metode itu menurutnya terlalu individual centrist. Kurang memperhatikan aspek antar hubungan individu yang justru merupakan substansi fakta sosial. Selain itu, sumbangsinya dalam dunia penelitian sosiologi, Durkheim juga berpendapat mengenai hukum, bahwa dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi kolektif yang kuat terhadap penyimpangan-penyimpangan menjadi berkurang di dalam sistem yang bersangkutan karena hukum yang bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang restitutif. Artinya, yang terpokok adalah untuk mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan semuala, yang merupakan hal yang penting di dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa-sengketa.
Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara. Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Durkheim dalam definisi di ini menggunakan paksaan sosial untuk mengidentifikasi alasan di balik tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tingkat paksaan tersebut akan terasa berbeda-beda. Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu. Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang lebih umum terhadap fakta sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau pandangan umum di dalam masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan bahwa fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung pada individu. Fenomena tersebut juga mempunyai efek yang memaksa. Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan interviu dalam penelitian empiris mereka. Walaupun kedua metode tersebut sebenarnya bukan monopoli paradigma ini. Metode observasi umpamanya ternyata tidak begitu cocok untuk studi fakta sosial`. Alasannya karena sebagian besar dari fakta sosial merupakan sesuatu yang dianggap sebagai barang sesuatu (a thing) yang nyata dan tidak dapat diamati secara langsung. Hanya dapat dipelajari melalui pemahaman (interpretative understanding). Selain dari itu metode observasi dinilai terlalu sempit dan kasar untuk tujuan penelitian fakta sosial. Informasi yang diperoleh melalui observasi selalu berbeda dengan informasi yang diperlukan oleh mereka yang menganut paradigma fakta sosial.
Sebagian besar fakta sosial tidak dapat diamati secara aktual. Padahal metode observasi hanya cocok untuk mempelajari gejala yang aktual saja. Metode eksperimen juga ditolak pemakaiannya. Alasannya karena terlalu sempit untuk dapat meneliti fakta sosial yang memang bersifat makrokoskopik. Persoalan sosial yang makroskopik ini justru tidak mudah dipelajari dalam laboratorium dengan metode eksperimen.
James Coleman (1977) mengakui bahwa kuesioner dan interviu kurang membukakan jalan ke arah penemuan fakta sosial seperti yang semula diharapkan oleh penganut paradigma fakta sosial itu sendiri. Kedua metode itu menurutnya terlalu individual centrist. Kurang memperhatikan aspek antar hubungan individu yang justru merupakan substansi fakta sosial. Selain itu, sumbangsinya dalam dunia penelitian sosiologi, Durkheim juga berpendapat mengenai hukum, bahwa dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi kolektif yang kuat terhadap penyimpangan-penyimpangan menjadi berkurang di dalam sistem yang bersangkutan karena hukum yang bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang restitutif. Artinya, yang terpokok adalah untuk mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan semuala, yang merupakan hal yang penting di dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa-sengketa.
BAB
III
PENUTUP
Emile
Durkehim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi dari dominasi
kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim berusaha untuk melepaskan
sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk kemudian meletakan
sosiologi ke atas dunia empiris. Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian
sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna
membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim
mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta
sosial yang ia jelaskan dalam dua cara. Definisi pertama yang ia berikan pada
fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada
individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan
yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat.
Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan
regional. Contoh, disebuah sekolah seorang murid diwajibkan datang tepat waktu,
menggunakan seragam, dan bersikap menghormati guru. Kewajiban-kewajiban
tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika
dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertinfak, berpikir
dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan
mengendalikan si individu (murid). Bagi Durkheim teknik observasi dan interviu
merupakan teknik analisis yang sistematis sebagai sebuah metode empiris.
Fakta-fakta sosial yang menjadi kajian Durkheim adalah gejala yang mutlak yang
terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Dan baginya individu adalah bagian dari
masyarakat yang dipengaruhinya, masyarakatlah yang memaksa individu untuk ikut
dalam tata norma masyarakat itu sendiri. Meskipun terkkesan terpaksa, namun ini
merupakan sebuah kenyataan dan fakta sosial yang ia temui saat ia meneliti
masyarakat-masyarakat. Pengaruh keluarga, pendidikan dan teman, secara langsung
maupun tidak langsung telah memengaruhi pemikirannya dalam meneliti dan
menafsirkan kejadian atau fakta yang ada di masyarakat itu.