Jumat, 05 April 2013


Agama dan Masyarakat
Menurut Emile Durkheim

Disusun Oleh
Nama                            : Putri Oktarina
NIM                     : 07101002077
Jurusan                : Sosiologi
Mata Kuliah                  : Sosiologi Agama
Dosen Pengasuh   : Rudy Kurniawan, S.Th.I, M.Si


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA INDRALAYA
TAHUN AJARAN 2012-2013
BAB I
PENDAHULUAN
 
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉkepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatukomunitas moral yang tunggal. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu sifatkudus dari agama dan praktek-praktek ritual dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapiagama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kitalihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinyatetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihatnanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis. Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan kepatuhan pada ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi). Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia. Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

1.    Fungsi Agama dalam Masyarakat
Fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, setiap saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, bersifat kongkret terjadi di sekeliling. Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan supramanusiawi dan ukhrowi. Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa mayarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua di mana pun tidak mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadat dengan kontinyu dan teratur, membaca kitab suci dan berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras, hidup secara sederhana, menahan diri dari tingkah laku yang tidak jujur, tidak berbuat yang senonoh dan mengacau, tidak minum-minuman keras, tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan tidak berjudi. Maka perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.

2.    Dimensi Komitmen Agama
Masalah fungsionalisme agama dapat dinalisis lebih mudah pada komitmen agama, menurut Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut, pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.

3. Hubungan Agama dengan Masyarakat
Telah kita ketahui Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan adat istiadat yang juga berhubungan dengan masyarakat dan agama. Dari berbagai budaya yang ada di Indonesia dapat dikaitkan hubungannya dengan agama dan masyarakat dalam melestraikan budaya.Sebagai contoh budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya. Hal ini membuktikan bahwa agama mempunyai hubungan yang erat dengan budaya sebagai patokan utama dari masyarakat untuk selalu menjalankan perintah agama dan melestarikan kebudayaannya.Selain itu masyarakat juga turut mempunyai andil yang besar dalam melestarikan budaya, karena masyarakatlah yang menjalankan semua perintah agama dan ikut menjaga budaya agar tetap terpelihara. Selain itu ada juga hubungan lainnya,yaitu menjaga tatanan kehidupan. Maksudnya hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan budaya dan masyarakat akan membentuk kehidupan yang harmonis,karena ketiganya mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lain. Sebagai contoh jika kita rajin beribadah dengan baik dan taat dengan peraturan yang ada,hati dan pikiran kita pasti akan tenang dan dengan itu kita dapat membuat keadaan menjadi lebih baik seperti memelihara dan menjaga budaya kita agar tidak diakui oleh negara lain. Namun sekarang ini agamanya hanyalah sebagi symbol seseorang saja. Dalam artian seseorang hanya memeluk agama, namun tidak menjalankan segala perintah agama tersebut. Dan di Indonesia mulai banyak kepercayaan-kepercayaan baru yang datang dan mulai mengajak/mendoktrin masyarakat Indonesia agar memeluk agama tersebut. Dari banyaknya kepercayaan-kepercayaan baru yang ada di Indonesia, diharapkan pemerintah mampu menanggulangi masalah tersebut agar masyarakat tidak tersesaat di jalannya. Dan di harapkan masyarakat Indonesia dapat hidup harmonis, tentram, dan damai antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya.

4.    Tipe-Tipe Kaitan Agama dalam Masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secra utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyrakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sacral ke dalam system nilai masyarakat secra mutlak.
2. Dalam keadaan lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi darpada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada system nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sacral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.

5.    Konflik Yang Ada Dalam Agama
Dalam perjalannya sejarah, sejak kepercayaan animisme dan dinamisme sampai monotheisme menjadi agama yang paling banyak dianut di muka bumi ini agama hampir selalu menciptakan perpecahan. Sebagai contoh, dalam agama India, khususnya Hindu-Budha, agama yang dibawa Sidharta Gautama ini merupakan rekasi dari ekses negative yang di bawa oleh agama Hindu. Walaupun agama Budha disebarkan dengan damai namun dapat dengan jelas terlihat bahwa masalah pembagian kasta dalam bingkai caturvarna menjadi masalah utama. Pada awalnya memang pembagian kasta ini merupakan spesialisasi pekerjaan, ada yang menjadi pemimpin agama, penguasa dan prajurit, dan rakyat biasa. Namun, dalam perjalannya terjadi penghisapan terutama dari pemimpin agama, prajurit, dan penguasa terhadap rakyat jelata. Implementasi yang salah dari caturvarna inilah yang diprotes dengan halus oleh Budha yang pada awalnya tidak menyebut diri mereka sebagai agama, tetapi berfungsi menebarkan cinta kasih terhadap sesama mahluk hidup, bukan saja manusia, tetapi juga hewan, dan tumbuhan. Sebagai reaksi dari meluasnya pengaruh Budha, Otoritas Hindu kemudian mengadakan pembersihan terhadap pengaruh Budha ini. Namun demikian, karena ajaran Budha lebih bersifat egaliter, usaha otoritas hindu ini menemui jalan buntu, bahkan agama Bundha sendiri dapat berkembang jauh lebih pesat dari pada agama Hindu, dan mendapat banyak pemeluk di Negara Tiongkok di kemudian hari.
Selain itu unsur konflik yang terbesar terjadi pula pada pengikut agama terbesar di dunia yaitu Abraham Religions, atau agama yang diturungkan oleh Abraham, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tulisan ini hanya membatasi pada penggambaran konflik di antara ketiga agama tersebut, bukan pada konflik intern dalam masing-masing agama tersebut. Inti dari agama-agama Abraham ini adalah akan datang nabi terakhir yang akan menyelamatkan dunia ini. Hal yang menjadi masalah utama adalah tidak ada kesepakatan diantara ketiga agama tersebut tentang siapa nabi yang akan datang tersebut. Pihak Yahudi menyatakan belum datang nabi terakhir itu, sedangkan pihak Nasrani mengatakan Nabi Isa (Yesus Kristus) adalah nabi terakhir, lalu Islam mengklaim Nabi Muhhamad sebagai nabi terakhir. Keadaan ini kemudian semakin diperparah ketika tidak ada pengakuan dari masing-masing agam yang masih bersaudara tersebut. Ketika berbagai unsure non-theologis, khususnya politik, ekonomi, dan budaya, menyusup ke dalam masalah ini, konflik memang tidak dapat dielakkan.
Berbagai konflik diantara agama-agama dipaparkan secara khusus:
1. konflik antara Yahudi dan Nasrani. Walaupun sumber konflik ini didasarkan atas kitab suci namun justru unsur dogmatis agama ini sangat mendukung pengambaran konflik yang terjadi. Menurut versi Yahudi, Nasrani adalah agama yang sesat karena menganggap Yesus sebagai mesias (juru selamat). Dalam pandangan Yahudi sendiri Yesus adalah penista agama yang paling berbahaya karena menganggap dirinya adalah anak Allah, sampai akhirnya otoritas Yahudi sendiri menghukum mati Yesus dengan cara disalibkan, sebuah jenis hukuman bagi penjahat kelas kakap pada waktu itu. Sedangkan menurut pandangan Kristen, umat Yahudi adalah umat pilihan Allah yang justru menghianati Allah itu sendiri. Untuk itu Yesus datang ke dunia demi menyelamatkan umat tersebut dari murka Allah. Dalam beberapa kesempatan, misalnya, ketika Yesus mengamuk di bait Allah karena dipakai sebagai tempat berjualan, atau dalam kasus lain yaitu penolakan orang Israel terhadap ajaran Yesus.
2. konflik Islam-Kristen. Konflik ini pada awalnya diilhami oleh kepercayaan bahwa Islam memandang Nasrani sebagai agama kafir karena mempercayai Yesus sebagai anak Allah, padahal dalam ajaran Islam Nabi Isa (Yesus) merupakan nabi biasa yang pamornya kalah dari nabi utama mereka Muhammad S.A.W. Konflik ini pada awalnya hanya pada tataran kepercayaan saja, namun ketika unsur politis, ekonomi, dan budaya masuk, maka konflik yang bermuara pada pecahnya Perang Salib selama beberapa abad menegaskan rivalitas Islam-Kristen sampai sekarang. Konflik itu sendiri muncul ketika Agama Kristen dan Islam mencapai puncak kejayaannya berusaha menunjukkan dominasinya. Ketika itu Islam yang berusaha meluaskan pengaruhnya ke Eropa, mendapat tantangan dari Nasrani yang terlebih dahulu ada dan telah mapan. Puncak pertempuran itu sebenarnya terjadi ketika perebutan Kota Suci Jerusalem yang akhirnya dimenangkan tentara salib. Sebagai balasan, Islam kemudian berhasil merebut Konstatinopel yang merupakan poros dagang Eropa-Asia pada saat itu.
3.  konflik antara Yahudi-Islam yang masih hangat dalam ingatan kita. Konflik ini berawal dari kepercayaan orang Yahudi akan tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka yang dipercayai terletak di daerah Israel, termasuk Yerusalem, sekarang. Pasca perbudakan Mesir, ketika orang Yahudi melakukan eksodus ke Mesir namun kemudian malah diperbudak sampai akhirnya diselamatkan oleh Musa, orang Yahudi kemudian kembali ke tanah mereka yang lama, yaitu Israel. Akan tetapi, pada saat itu orang Arab telah bermukim di daerah itu. Didasarkan atas kepercayaan itu, kemudian orang Yahudi mulai mengusir Orang Arab yang beragama Islam itu. Inilah sebenarnya yang menjadi akar konflik Israel dan Palestina dalam rangka memperebutkan Jerusalem. Konflik ini semakin panas ketika unsure politis mulai masuk.

6.      Ilmu Tentang Masyarakat
Perhatiannya terhadap struktur sosial mendorong Durkheim menggunakan ilmu pengetahuan (sains) untuk menjelaskan kehidupan sosial. Metode ilmiah yang dikembangkan kemudian dikenal dengan positivisme. Bagi Durkheim, struktur sosial sama obyektifnya dengan alam itu sendiri. Menurut Durkheim, sifat struktur diberikan kepada warga masyarakat sejak mereka lahir, sama seperti yang diberikan alam kepada fenomena alam. Masyarakat terdiri dari realitas fakta sosial yang sama bersifat eksternal dan menghambat individu. Kita tidak memilih untuk meyakini sesuatu yang kita yakini kini atau memilih tindakan yang kita ambil sekarang. Aturan-aturan kebudayaan yang sudah ada yang menentukan gagasan dan perilaku kita melalui sosialisasi individu dalam masyarakat. Jadi sama dengan karakteristik gejala alam yang merupakan produk dari aturan-aturan alam, demikian pula gagasan dan tindakan manusia adalah produk kekuatan sosial eksternal yang membentuk struktur sosial. Sehingga Durkheim mengungkapkan bahwa sosiologi dapat dan harus objektif karena berhubungan dengan realitas yang pasti dan substansil sebagaimana halnya yang dilakukan oleh ahli biologi.
Bagi kaum positivis metode ini meliputi pengamatan empiris, maka dalam sosiologi harus menyandarkan diri pada bukti empiris. Oleh karena perilaku ditentukan oleh oleh struktur sosial eksternal, ketika kita mengkuantifikasi jumlah (insidens) tindakan atau pikiran orang, yang kita dapatkan adalah bukti empiris dari kekuatan sejauh yang memproduksi perilaku dan keyakinan itu. Dengan demikian kita akan membangun ilmu tentang masyarakat yang dapat dijadikan pedoman untuk memahami bagaimana masyarakat diorganisasi, dalam konteks pengetahuan mengenai hukum yang mengatur perilaku sosial. Dalam masyarakat yang kuat dan tertib, kebebasan individual hanya dapat terjadi apabila keyakinan dan perilaku diatur dengan sebaik-baiknya melalui sosialisasi. Individu patuh kepada masyarakat dan kepatuhan ini adalah kondisi bagi kebebasannya. Bagi manusia, kebebasan berarti terbebas dari pemaksaan fisik yang membabi-buta, kondisi ini dicapai dengan mematuhi kekuatan besar dan cerdas, yakni masyarakat yang dibawah pengaturannya individi berlindung.

7.        Sifat dasar religius individu dan masyarakat
Dalam usaha memahami esensi fenomena keagamaan, Durkheim menyimpulkan bahwa agama sesungguhnya adalah masalah sosial. Agama adalah hal paling primitif dari segala fenomena sosial. Semua manifestasi lain dari aktivitas kolektif berasal dari agama dan melalui berbagai transformasi secara berturut-turut, antara lain menyangkut hukum, moral, seni, bentuk politik, dsb. Dengan menganalisis sistem totem bangsa primitif di Australia, Durkheim menyimpulkan bahwa totem merupakan simbol klan sekaligus simbol ketuhanan. Dengan demikian bukankah Tuhan dan masyarakat itu satu. Apa yang dianggap sakral itu adalah produk dari kelompok. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Bagi Durkheim perilaku masyarakat yang menganggap Tuhan atau menciptakan Dewa sama sekali tidak terlihat lagi kecuali tahun-tahun pertama berkecamuknya revolusi prancis. Agama sendiri cenderung berkembang jika memiliki dogma, simbol, altar dan perayaan-perayaan. Dengan demikian bentuk Tuhan atau dewa tidak terlalu penting, yang penting adalah representasi religius adalah representasi kolektif yang mengungkapkan realitas kolektif, ritus-ritus yang ada didalamnya adalah cara untuk bertindak yang hanya muncul ditengah-tengah kelompok saat berkumpul dan bertujuan untuk membangkitkan, mempertahankan atau membangun kembali berbagai kondisi mental kelompok itu (kesadaran kolektif).

8.      Teori Fakta Sosial
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme. Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap “fakta-fakta sosial”, istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu.
Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara. Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Durkheim dalam definisi di ini menggunakan paksaan sosial untuk mengidentifikasi alasan di balik tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tingkat paksaan tersebut akan terasa berbeda-beda. Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu. Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang lebih umum terhadap fakta sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau pandangan umum di dalam masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan bahwa fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung pada individu. Fenomena tersebut juga mempunyai efek yang memaksa. Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan interviu dalam penelitian empiris mereka. Walaupun kedua metode tersebut sebenarnya bukan monopoli paradigma ini. Metode observasi umpamanya ternyata tidak begitu cocok untuk studi fakta sosial`. Alasannya karena sebagian besar dari fakta sosial merupakan sesuatu yang dianggap sebagai barang sesuatu (a thing) yang nyata dan tidak dapat diamati secara langsung. Hanya dapat dipelajari melalui pemahaman (interpretative understanding). Selain dari itu metode observasi dinilai terlalu sempit dan kasar untuk tujuan penelitian fakta sosial. Informasi yang diperoleh melalui observasi selalu berbeda dengan informasi yang diperlukan oleh mereka yang menganut paradigma fakta sosial.
Sebagian besar fakta sosial tidak dapat diamati secara aktual. Padahal metode observasi hanya cocok untuk mempelajari gejala yang aktual saja. Metode eksperimen juga ditolak pemakaiannya. Alasannya karena terlalu sempit untuk dapat meneliti fakta sosial yang memang bersifat makrokoskopik. Persoalan sosial yang makroskopik ini justru tidak mudah dipelajari dalam laboratorium dengan metode eksperimen.
James Coleman (1977) mengakui bahwa kuesioner dan interviu kurang membukakan jalan ke arah penemuan fakta sosial seperti yang semula diharapkan oleh penganut paradigma fakta sosial itu sendiri. Kedua metode itu menurutnya terlalu individual centrist. Kurang memperhatikan aspek antar hubungan individu yang justru merupakan substansi fakta sosial. Selain itu, sumbangsinya dalam dunia penelitian sosiologi, Durkheim juga berpendapat mengenai hukum, bahwa dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi kolektif yang kuat terhadap penyimpangan-penyimpangan menjadi berkurang di dalam sistem yang bersangkutan karena hukum yang bersifat represif mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi hukum yang restitutif. Artinya, yang terpokok adalah untuk mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan semuala, yang merupakan hal yang penting di dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa-sengketa.
BAB III
PENUTUP

Emile Durkehim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi dari dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim berusaha untuk melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk kemudian meletakan sosiologi ke atas dunia empiris. Durkheim berpendapat bahwa subyek kajian sosiologi harus dipersempit pada sebuah bidang yang dapat diuraikan guna membedakan sosiologi dengan studi sosial yang lain. Untuk itu, Durkheim mengusulkan bahwa harus membatasi sosiologi pada kajian analisis tentang fakta sosial yang ia jelaskan dalam dua cara. Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi kultural, dan kebiasaan regional. Contoh, disebuah sekolah seorang murid diwajibkan datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap menghormati guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertinfak, berpikir dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan si individu (murid). Bagi Durkheim teknik observasi dan interviu merupakan teknik analisis yang sistematis sebagai sebuah metode empiris. Fakta-fakta sosial yang menjadi kajian Durkheim adalah gejala yang mutlak yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Dan baginya individu adalah bagian dari masyarakat yang dipengaruhinya, masyarakatlah yang memaksa individu untuk ikut dalam tata norma masyarakat itu sendiri. Meskipun terkkesan terpaksa, namun ini merupakan sebuah kenyataan dan fakta sosial yang ia temui saat ia meneliti masyarakat-masyarakat. Pengaruh keluarga, pendidikan dan teman, secara langsung maupun tidak langsung telah memengaruhi pemikirannya dalam meneliti dan menafsirkan kejadian atau fakta yang ada di masyarakat itu.